Minggu, 18 September 2011

Surat Terbuka untuk Bp. Djohar Arifin Husin Ketua Umum PSSI

Kepada Yth.
Bp. Djohar Arifin Husin
Ketua Umum
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia
Di Tempat

Dengan Hormat,
Saya hanyalah rakyat biasa di Republik ini yang kebetulan mencintai sepakbola sebagai sebuah karya Ilahi yang luar biasa indah melalui manusia-manusia yang diciptakan-Nya. Seperti halnya Bapak, saya adalah juga bagian dari masyarakat sepakbola Indonesia yang tidak pernah lelah untuk bermimpi bahwa suatu saat sepakbola Bangsa kita mampu terbang tinggi dengan gagah di kancah internasional seperti halnya Sang Garuda yang gagah nan perkasa.

Surat terbuka ini saya buat didasari oleh hanya satu alasan mendasar yaitu karena saya mencintai PSSI sebagai sebuah lembaga otoritas tertinggi yang mengatur sepakbola di Republik ini. Saya mencintai PSSI dengan segala kelemahan dan kelebihannya, karena sampai detik ini, saya masih mengimani bahwa PSSI adalah alat perjuangan bangsa. Walaupun karena perasaan cinta itu, berkali-kali pula saya harus mengalami “luka” di hati karena banyaknya absurditas dalam pengelolaan sepakbola kita.

Sehubungan dengan hasil Rapat Komite Eksekutif semalam, 16 September 2011 dengan rendah hati perkenankanlah saya untuk memberikan beberapa masukan bagi kepengurusan PSSI 2011-2015 di bawah komando bapak sebagai pengemban amanat Kongres Luar Biasa PSSI.

“Mundur Satu Langkah, untuk Maju Seratus Langkah Kedepan”
Mencermati perkembangan sepakbola kita sejak 9 Juli 2011 lalu sampai hari ini, dengan jujur saya harus mengatakan bahwa Bapak belum memiliki sebuah prinsip dasar/keteguhan sikap sebagai seorang pemimpin.

Saya bisa memahami jika Bapak berada pada dua kutub ekstrim yang saling bertentangan dalam kepengurusan saat ini,antara kubu pro status quo dengan kubu pro perubahan, karena sepakbola kita memang sudah rusak oleh “politisasi” yang sudah membudaya sejak Tahun 1970an. Hidup memang sebuah pilihan, tetapi berani memilih dan berani mengambil resiko dari pilihan yang diambil adalah dua hal yang sangat berbeda walaupun berhubungan satu sama lain.

Saya rasa kita berdua sepakat bahwa kondisi sepakbola kita sebelum 9 Juli 2011 adalah kondisi yang “sakit” dan karena itu pula untuk mengobatinya kita harus mengambil langkah mundur untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap “penyakit-penyakit” tersebut. Adapun beberapa langkah “Mundur Satu Langkah, untuk Maju Seratus Langkah Kedepan” yang merupakan tema besar isi surat terbuka ini meliputi beberapa hal yang menurut saya sangat krusial dalam pengembangan sepakbola kita ke depan.

1. Politisasi Sepakbola Indonesia
Apapun dinamika yang terjadi selama Kongres Luar Biasa PSSI 9 Juli 2011, sejarah mencatat bahwa Bapak diberi amanat dan kepercayaan untuk memimpin PSSI. Bapak memang tidak bisa menutup mata terhadap dukungan kubu Pro Perubahan yang disokong oleh kekuatan Bp. Arifin Panigoro dan Bp. George Toisutta, publikpun tahu bahwa Bapak adalah hasil kompromi terbaik dari politisasi yang terjadi selama Kongres tersebut. Poilitisasi disini, bukan hanya karena melibatkan kepentingan elite partai-partai tertentu, tetapi juga karena melibatkan banyaknya kepentingan kelompok dan orang per orang di luar partai.

Di titik inilah Bapak seharusnya mampu membuat garis tegas antara kepentingan sepakbola nasional dengan kepentingan kelompok tertentu, terutama mereka yang telah menyokong Bapak untuk menjadi seorang pemenang. Saya percaya, jika pada titik ini Bapak mengambil sikap yang tegas, maka kedepan kita mulai belajar untuk secara bertahap menghancurkan salah satu sumber “penyakit” kita yaitu politisasi sepakbola. Garis tegas tersebut haruslah berdasarkan keyakinan pribadi Bapak mengenai apa yang baik dan benar bagi pengelolaan sepakbola kita ke depan, karena Bapak adalah seorang mantan pemain, mantan wasit dan sudah lama berkecimpung dalam dunia sepakbola kita. Bapak adalah ketua umum yang paling ideal dilihat dari sisi latar belakang dan pengalaman Bapak.

Bapak harus berani mengatakan “Tidak” kepada aspirasi-aspirasi khususnya dari kubu yang berjasa menyokong Bapak, jika menurut keyakinan pribadi Bapak, aspirasi tersebut bertentangan dengan keyakinan pribadi bapak sebagai seorang yang jauh berpengalaman di sepakbola. Walaupun tentu saja sikap tegas ini akan bisa membuat Bapak dikorbankan, tetapi akan jauh lebih bernilai jika kita dikorbankan karena kebenaran dan keteguhan prinsip daripada bertahan dan secara sadar memilih untuk menjadi “boneka” kepentingan tertentu.

2. Jika PSSI adalah “Agama”, maka Statuta adalah “Kitab Suci”
Saya rasa kita berdua memahami mengapa Bangsa ini mengalami krisis multidimensi hampir di semua bidang kehidupan. Salah satunya adalah karena kita tidak pernah menghargai Hukum, Peraturan, Norma dan Etika. Semua bisa dibeli dengan kekuasaan dan uang.
Sungguh, saya bersyukur bahwa di dalam Komite Eksekutif masih terdapat beberapa pribadi yang masih menjunjung tinggi Statuta PSSI, salah satunya adalah Bp. La Nyalla Matalitti. Saya telah membaca dan mempelajari Statuta PSSI dalam versi Bahasa Inggris yang diapproval oleh FIFA dan AFC yang saya download dari Website PSSI.

Adalah sebuah absurditas yang luar biasa, jika Bapak dan semua pengurus PSSI tidak memahami substansi dari Statuta tersebut. Saya akan sangat sedih membayangkan jika pada rapat Komite Eksekutif semalam tidak ada seorang Bp. La Nyalla Matalitti, yang mengingatkan hal yang paling fundamental dalam sebuah organisasi yaitu “aturan main” dalam hal ini Statuta PSSI.
Semoga rapat Komite Eksekutif semalam mampu mengingatkan Bapak dan pengurus lainnya untuk tidak menutup mata, telinga dan hati pada realita sepakbola kita hanya demi memperjuangkan kepentingan kubu-kubu tertentu. PSSI memiliki kesempatan besar untuk menjadi contoh dan teladan yang baik bagi Bangsa ini dalam hal menghargai Hukum, Peraturan, Norma dan Etika. Dan semoga Bapak dan para pengurus lainnya mau mengambil langkah mundur ke belakang dengan berusaha memahami substansi Statuta PSSI terlebih dahulu, melakukan evaluasi dan melakukan perencanaan matang yang sesuai dengan Statuta tersebut.

3. Pengelolaan Kompetisi Profesional dan Amatir.
Profesionalitas dalam sepakbola kita masih terbatas pada sebuah mimpi, karena profesionalitas lebih dari sekedar kecakapan berbisnis atau mencari uang belaka, tetapi lebih dari itu, profesionalitas adalah sebuah sikap hidup. Pola pikir kompetisi kita pada dasarnya adalah amatir, kita memang belum sungguh-sungguh professional. Untuk mengubah mindset tersebut, diperlukan proses panjang dan bertahap disertai kesabaran yang luar biasa dari semua pihak yang terlibat, khususny6a Bapak sebagai seorang pemimpin.

Menurut hemat saya, Bapak perlu mengambil langkah mundur jauh kebelakang dengan melakukan evaluasi terhadap sejarah kompetisi kita selama ini. Kompetisi kita harus memiliki kelamin yang jelas antara Profesional dan Amatir seperti dulu ketika Galatama dan Perserikatan. Seluruh klub sepakbola di Tanah Air harus berani memutuskan apakah klubnya mampu atau tidak menjadi klub yang professional sesuai dengan persayaratan standar AFC dan FIFA. Jika tidak mampu maka harus jujur pada diri sendiri dan berkompetisilah di level amatir yang rohnya adalah pembinaan.

Saya sangat mendukung keputusan PSSI untuk melakukan evaluasi ulang secara menyeluruh terhadap klub-klub yang berminat untuk berkompetisi di level professional. Persayaratan ketat yang dibuat oleh AFC dan FIFA adalah standar minimal yang harus dipenuhi seluruh klub, jika standar minimal tersebut tidak mampu dipenuhi oleh klub-klub kita, maka kita pun dalam hal ini Bapak dan para pengurus PSSI harus jujur pada diri sendiri dan tidak perlu memaksakan diri hanya demi kuota ke Liga Champions Asia, toh selama ini klub-klub juara kita di ajang tersebut hanya menjadi lumbung gol saja. Kita harus memulai lagi dari pondasi yang benar sebagai dasar melakukan perubahan yang radikal. Selama 3 tahun kedepan, jika kita membangun iklim kompetisi yang sungguh professional, maka ketika hukuman AFC berakhir, kita pasti akan mulai mampu berbicara di level klub internasional tersebut.

Proses verifikasi klub harus dilakukan atas dasar transparansi yang bisa dipertanggungjawabkan oleh PSSI agar public sepakbola kita juga bisa belajar untuk memahami sebuah proses dan belajar untuk jujur pada diri sendiri. Saya juga mendukung rencana PSSI untuk melakukan salary cap di kompetisi professional, karena adalah sebuah absurditas yang luar biasa ketika segelintir pemain sepakbola hidup dengan gaji ratusan juta sampai miliaran rupiah padahal sekalipun belum pernah mereka mampu membawa Bangsa ini ke Piala Dunia. Tanpa pembatasan Salary Cap, maka PSSI akan mengulangi kesalahan besar seperti yang dilakukan Pemerintah saat ini, yaitu membiarkan “virus-virus” ekonomi pasar bebas merusak tatanan ekonomi kita yang sejatinya adalah Ekonomi Kerakyatan sesuai dengan Sila ke 5 Pancasila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”

4. Pembinaan Usia Dini
   Bapak juga harus mau mundur jauh kebelakang dengan melakukan evaluasi terhadap standarisasi pembinaan sepakbola usia dini yang sudah berjalan selama ini. Kita belum memiliki sebuah kurikulum baku mengenai sekolah-sekolah sepakbola di seluruh Indonesia. Mentalitas seorang juara hanya bisa dibentuk sejak masih berusia dini, begitu juga dengan penghargaan terhadap nilai-nilai kerja keras, disiplin diri dan fair play. Jika sejak usia dini kita sudah gagal membentuk karakter-karakter seperti itu, maka jangan pernah berharap kita mampu terbang tinggi di level internasional.

    Pengelolaan kompetisi usia dini juga harus terstandarisasi di setiap level umur, disini kembali peran ketaatan terhadap Peraturan, Hukum, Norma dan Etika harus menjadi pijakan dasar semua komponen yang terlibat. Saya sering “menangis di dalam hati” ketika melihat dengan mata kepala sendiri anak-anak kita di seluruh pelosok daerah bermain bola dengan teknik yang walaupun masih mentah sudah menunjukkan skill yang luar biasa, mereka bermain dengan bahagia, mereka bermain dengan hati dan tertawa bersama walaupun hanya di pinggir-pinggir jalan dan gang-gang di kampung.

Sementara ini, sekian dulu surat dari saya kepada Yang Terhormat Bapak Ketua Umum PSSI Djohar Arifin Husin. Jika ada kata-kata yang tidak atau kurang berkenan mohon dimaafkan.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu menyertai Bapak dan segenap pengurus PSSI dalam menjalankan amanah mengangkat kembali derajat sepakbola kita.

Salam,
Damianus Gading

Senin, 13 Juni 2011

Kenangan Penuh Perjuangan...Bogor 1995-1998...

Seminari Menengah Stella Maris Bogor Angkatan 1995

Banyak orang mengatakan bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah ketika beranjak dari usia remaja ke usia dewasa. Bagiku sendiri, masa SMA bukanlah masa yang indah, bagiku masa SMA adalah masa dimana untuk pertama kalinya dalam hidupku aku harus berjuang mati-matian untuk mengekang dan "membunuh kebebasanku"..."kebebasan" untuk mengekspresikan semua gejolak hati seorang remaja dimasa pubertasnya...berjuang untuk terus menerus mencari dan mencari tanpa mengenal lelah untuk menjawab sebuah pertanyaan "Siapakah aku?"...berjuang untuk menjadi seseorang yang "dilahirkan" kembali.
Entahlah..apakah aku telah kehilangan masa-masa indah yang seharusnya dialami seorang anak remaja yang normal? Biarlah para pembaca budiman yang menyimpulkannya, aku hanya ingin mensharingkan sebuah pengalaman di masa SMA dulu...

Kota Bogor, Juli 1995 dengan berat hati kedua orangtuaku mengantarkan aku...putera pertamanya untuk memulai sebuah hidup baru ke asrama Seminari Menengah Stella Maris,Bogor. Bagi orang Katolik, nama Seminari sendiri tidaklah asing, di lembaga yang bernama Seminari inilah untuk pertama kalinya seorang remaja/dewasa pria yang bercita-cita untuk menjadi seorang Imam/Romo/Pastor/Bruder memulai perjuangannya untuk meraih cita-cita mulia tersebut. Seminari adalah salah satu sistem pendidikan Katolik yang bersifat homogen, karena semua siswanya haruslah seorang laki-laki tulen dan diwajibkan untuk tinggal di Asrama dengan segala keketatan peraturannya.
Secara akademik kami "bergabung" dan tercatat sebagai siswa di SMU Budi Mulia,Bogor. Tidak seperti halnya SMU Kolese Petrus Kanisius Mertoyudan di Magelang yang merupakan sebuah asrama Seminari sekaligus sebuah SMA yang berdiri sendiri seperti SMA-SMA lainnya.

Belum ada satu minggu hidup lepas dari keluarga...hampir tiap malam diam-diam aku menangis dikamar mandi. Kamar mandi waktu itu adalah "ruang privat yang paling sakral" bagiku, karena aku bisa berpikir, merenung, tertawa, menangis dan berdoa sendirian..tempat dimana aku bisa mengekspresikan semua gejolak hati ini. Aku menangis karena aku merasa telah menyia-nyiakan masa remajaku di sebuah "penjara suci" di Kota Bogor ini.
Di kamar mandi inilah aku bisa menjadi diriku sendiri yang sebenarnya dengan melepas segala "topeng" yang menutupinya...dan di kamar mandi ini juga aku memulai refleksi hidupku untuk pertama kalinya mengenai motivasi panggilanku untuk menjadi seorang Romo....
Dan selama 3 tahun berikutnya dikamar mandi yang sama...yang paling ujung...dan bernomor 7 itulah aku selalu menempatkan diri untuk "beristirahat melepas lelah" dari segala kepengatan hidup sejak pagi hingga malam, sambil "berefleksi" mengenai semua peristiwa harian yang kualami bersama saudara-saudara seperjuanganku...khususnya siswa-siswa Angkatan 1995.

Tahun Pertama..."Masa yang Menakutkan..."
Sanctitas (Kesucian), Scientia (Pengetahuan) dan Sanitas (Kesehatan) adalah filosofi dasar pendidikan di semua Seminari. Sebagai anak remaja yang masih lekat dengan budaya hidup diluar tembok asrama, aku sangat "tersiksa" menjalani semua proses tersebut. Ketaatan akan peraturan asrama kumaknai sebagai sebuah sikap pembodohan yang justru ingin membuat manusia menjadi kaku seperti mayat yang hidup. Kami dituntut untuk taat dan disiplin dalam menjalankan semua aktifitas dari bangun pagi sampai tidur malam apalagi ditambah dengan ketentuan wajib Silentium Magnum (dilarang berbicara untuk menjaga susasana hening setelah Ibadat Completorium dari jam 9 malam sampai jam 7 pagi).
Ketidaktaatan terhadap semua peraturan tersebut memiliki konsekuensi yang tidak main-main dan yang paling menakutkan bagiku adalah dikeluarkan dari asrama Seminari dan terpaksa melanjutkan pendidikan SMA di sekolah lain. Mengapa aku takut dikeluarkan? Pertama-tama dan yang utama adalah bukan karena aku ingin tetap bercita-cita menjadi seorang Romo, tetapi lebih karena sebuah realita bahwa aku harus berani mempertanggungjawabkan pilihanku secara bebas dan sadar untuk studi di tempat ini kepada kedua orangtuaku, bapakku hanyalah seorang security di sebuah sekolah Katolik, dan aku sadar betul mencari sekolah di tempat lain apalagi saat pertengahan tahun adalah sesuatu yang amat mahal, tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk itu. Atas dasar inilah aku dengan sangat terpaksa menjalani semua rutinitas di Seminari...ya karena aku takut...karena aku seorang pengecut...aku takut melanggar peraturan...aku takut kepada kakak-kakak kelasku karena budaya senioritas masih sangat kuat pada waktu itu...aku takut pada semua Romo staff di Seminari...dan yang paling menyedihkan...aku takut pada diriku sendiri....
Masa tahun pertama ini adalah masa yang paling berat, tanpa kusadari aku mulai belajar untuk tidak lagi menjadi anak manja, suka tidak suka aku harus belajar mengurus diriku sendiri dan mau berkompromi dengan semua realita yang ada. Aku belajar untuk melawan rasa nyaman akan diriku sendiri dan jujur saja...itu sangatlah melelahkan...tiap hari aku harus berjuang melawan rasa lapar kala malam menjelang..melawan rasa mengantuk yang luar biasa setiap bangun pagi-pagi buta...melawan rasa malas ketika melihat banyaknya pakaian yang belum dicuci...melawan keinginan untuk berbicara di saat jam silentium...melawan rasa bosan yang setiap saat meliputi hati dan pikiranku...melawan perasaan "jatuh hati" pada seorang gadis siswi di SMU Budi Mulia yang sangat ingin kumiliki...ya...aku melawan "ego" yang sangat melekat kuat dalam diriku...
Di tahun pertama ini pula aku mulai mengenal secara pribadi teman-teman seangkatanku, tahun pertama ini adalah tahun yang penuh gejolak bagi kami, karena pada masa inilah kami mulai memperlihatkan jati diri kami masing-masing, kami semua masih sangat egois walaupun seangkatan. Masing-masing dari kami seolah-olah ingin memperlihatkan siapa yang lebih pintar dalam hal akademis, siapa yang lebih suci dalam hal berdoa, siapa yang lebih rajin dalam hal bekerja, siapa yang lebih kaya karena penampilannya, siapa yang paling pantas disegani karena keberaniannya menggunakan cara-cara kekerasan ala preman dalam menyelesaikan permasalahan diantara kami. Tetapi di tahun  pertama ini pula aku mengenal pribadi-pribadi yang luar biasa...yang tetap rendah hati, sabar dan selalu tersenyum dengan tulus menghadapi segala dinamika kehidupan di angkatan kami. Di tahun ini juga Romo Rektor kami Rm.Benedictus Sudjarwo,Pr dipanggil menghadap Sang Pemilik Kehidupan....

Tahun Kedua..."Masa Pemberontakan..."
Tahun kedua adalah tahun yang penuh dengan "warna", karena justru di tahun kedua inilah tanpa kusadari aku menjadi pribadi yang sudah jauh berubah begitupun halnya dengan dinamika kehidupan diangkatan kami. Di tahun kedua inilah aku mulai berani melanggar berbagai peraturan asrama, mulai dari jarang mengikuti Misa Harian karena lebih memilih melanjutkan tidur baik di Kapel dikolong organ maupun di tempat lain yang kuanggap strategis, merokok diam-diam di tempat favoritku kamar mandi nomor 7, "loncat pagar" asrama hampir setiap malam minggu dan baru kembali pagi menjelang subuh sekedar untuk merasa menjadi remaja normal, memanfaatkan tugas malam cuci piring di dapur Pastoran Katedral hanya untuk mencuri makanan, melanggar jam silentium dengan bergadang sampai menjelang pagi dengan beberapa teman di tempat-tempat yang kami anggap strategis di dalam asrama sambil makan makanan hasil curian di Pastoran, minum anggur hasil curian dari Kapel Seminari dan merokok sepuas-puasnya.
Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya terjatuh juga....ya...dari sekian banyak pelanggaran yang kulakukan, aku tertangkap basah oleh seorang Romo yang baru saja ditahbiskan dan bertugas di Katedral..yang justru dianggap sopir pastoran oleh salah seorang kawanku karena memang belum pernah terlihat sebelumnya. Jam 1 pagi persis setelah kami mampu lolos keluar dari tembok asrama, Romo tersebut memergoki kami bertiga....dan keesokan harinya kami dihukum oleh salah satu Romo staff pamong waktu itu Rm.Christoforus Tri Harsono,Pr (sekarang Rektor di Seminari Tinggi St.Petrus-Paulus, Bandung) untuk pulang kerumah masing-masing...skorsing selama 2 minggu penuh...Peristiwa itu adalah pertanda sial bagi nasibku, karena sejak peristiwa itu ada beberapa pelanggaran lagi yang kerap membuatku tertangkap basah dan membuatku positif harus dikeluarkan dari Seminari saat kenaikan kelas ke kelas 3 SMA karena telah tiga kali mendapat peringatan tertulis.
Di titik inilah aku merasakan ketakutan yang luar biasa, tidak ada seorangpun teman seangkatanku termasuk yang paling akrab denganku tahu mengenai hal ini, pada titik ini aku pasrah pada keputusan Romo Rektor dan selalu membayangkan kecewa dan marahnya bapakku saat pulang liburan sekolah nantinya, karena terbukti sudah aku bukanlah seorang anak yang bisa bertanggungjawab dan hanya menyusahkan orang tua saja.
Dan justru ketika pasrah itulah aku tidak lagi merasa takut, karena aku siap menghadapi segala resiko dari semua pelanggaran yang kulakukan. Anehnya...waktu itu menjelang ujian akhir kenaikan kelas, aku terpilih sebagai salah satu siswa yang mewakili SMU Budi Mulia,Bogor dalam "English Speech And Debate Competition" se-Kotamadya Bogor yang diselenggarakan oleh salah satu Lembaga Pendidikan Bahasa Inggris bekerjasama dengan BBC Australia, dan diluar dugaan aku masuk peringkat tiga besar dan berhak mewakili SMU Budi Mulia Bogor untuk berkompetisi di tingkat nasional yang diselenggarakan di Jakarta. Kebetulan kompetisi di tingkat nasional tersebut akan diselenggarakan pada saat liburan sekolah kenaikan kelas di pertengahan Juni 1997.
Sehubungan dengan kejadian itu, pejabat Romo Rektor sementara waktu itu Rm. Ridwan Amo,Pr (karena Romo Rektor kami sebelumnya Pater Victor Solekase,Pr meninggal dunia) memanggilku keruangan kerjanya dan berbicara empat mata denganku...sebuah momen yang tidak akan pernah terlupakan bagiku. Romo Ridwan tanpa kuduga sebelumnya ternyata masih memberikanku kesempatan terakhir untuk melanjutkan pendidikan di Seminari sampai ke kelas 3 SMA, dengan "pengawasan khusus" selama 3 bulan, dimana jika ada saja satu pelanggaran sekecil apapun maka otomatis pintu Seminari tertutup bagiku....syukurlah...
Bagi angkatanku tahun kedua adalah masa yang indah akan kebersamaan. kami mulai belajar untuk "menangis dan tertawa bersama" setiap gangguan akan salah satu kawan angkatan kami adalah gangguan bagi seluruh angkatan. Kekompakan kami mencapai puncaknya di tahun kedua ini, bahkan dalam titik tertentu kami tidak segan-segan berkonfrontasi secara fisik dengan kakak kelas kami khususnya kelas 3 (angkatan 1994) di setiap pertandingan Rector Cup maupun setiap ada benturan diantara kami dalam hidup harian di asrama. Solidaritas ini memakan korban, salah seorang kakak kelas kami terpaksa dikeluarkan dari asrama karena perkelahian masal saat pertandingan Rector Cup. Kejadian ini justru membuat kebersamaan diantara angkatan kami sangatlah kuat, kami mulai belajar solider satu dengan yang lain. Dalam hal studi kami mengadakan pembagian tugas dengan menggolongkan beberapa anak yang pintar dalam bidang studi tertentu untuk memberikan bimbingan studi bagi yang lainnya, dan di setiap mata pelajaran baik kurikulum SMA maupun kurikulum Seminari ada teman-teman yang bertanggungjawab atas kemajuan akademik keseluruhan angkatan, kesadaran untuk maju bersama sangatlah kuat.

Pada waktu Pater Victor Solekase,Pr menjadi Romo Rektor dibuatlah sebuah tradisi baru yang wajib dijalani setiap angkatan yaitu Correctio Fraterna dimana kami belajar untuk melakukan kritik secara tajam dan terbuka terhadap satu dengan yang lainnya, proses ini sangatlah melelahkan karena kami dituntut untuk jujur baik terhadap diri sendiri maupun rekan seangkatan, tidak jarang setelah proses "persidangan" ini ada satu atau dua teman yang sangat terpukul dan menangis dalam hatinya...contohnya adalah saya sendiri, tidak mudah memang untuk mengolah "buah-buah" dari proses Correctio Fraterna ini.
Di akhir tahun kedua ini pula aku merasa sangat kehilangan seorang Romo Rektor yang amat kukagumi secara pribadi Pater Victor Solekase,Pr. Selama kepemimpinannya dinamika hidup di Seminari amatlah "berwarna", pribadi yang luar bisa..Pater yang satu ini dimataku memiliki kharisma yang tidak bisa kubantah, ia mampu "merangsang" spirit muda kami untuk maju dalam segala hal, seorang pendengar yang baik sekaligus konsultan pribadi terbaik yang pernah kujumpai. 

Tahun Ketiga..."Masa Pengambilan Keputusan..."
Di tahun ketiga ini aku sungguh-sungguh ingin fokus dan tidak main-main lagi dalam menjalani semua aktifitasku di Seminari. Selama 3 bulan pertama, untuk pertama kalinya aku mau bangun pagi dengan niat sungguh dan mandi serta mengikuti Misa Harian tanpa tertidur, jam Lectio Divina (Bacaan Rohani) setiap selesai Ibadat Pagi kugunakan untuk membaca buku Brevir maupun buku-buku renungan dari Pater Antoni De Mello,SJ, aku mulai rajin mengunjungi Sakramen Mahakudus secara pribadi, "berkontemplasi" secara positif di kamar mandi nomor 7, bekerja sebaik-baiknya dalam mengkoordinasikan pekerjaan membersihkan semua kamar mandi  yang merupakan tanggungjawabku waktu itu sebagai komandan WC, aku mulai serius dalam hal studi karena itu adalah tahun terakhir kami dalam menghadapi EBTANAS, apalagi sebagai ketua kelas aku berkewajiban menjaga reputasi siswa-siswa Seminari yang hampir setiap tahunnya pasti menjadi lulusan terbaik di SMU Budi Mulia dengan NEM tertinggi baik secara pribadi maupun nilai rata-rata seangkatan, bahkan kakak-kakak kelasku (angkatan 1992 dan 1994) ada yang pernah mencapai NEM tertinggi se-Kotamadya Bogor waktu itu.
Di tahun ketiga inilah aku mulai sungguh jatuh cinta pada spiritualitas salah satu serikat dalam Gereja Katolik dan sangat ingin sekali menjadi salah satu Imamnya dalam serikat tersebut.
Retret yang kami lakukan di tahun ketiga adalah retret yang paling berat, karena kami harus sungguh-sungguh merenungi kembali motivasi panggilan kami apakah akan tetap melanjutkan ke Seminari Tinggi untuk mewujudkan cita-cita menjadi Romo atau justru memilih untuk tidak melanjutkan cita-cita nan suci itu.
Sepulang dari retret diakhir tahun 1997 itu, justru angkatanku mulai mengalami perpecahan yang sangat tidak kondusif bagiku untuk melanjutkan dan mempertahankan benih-benih panggilan yang mulai tumbuh waktu itu. Untuk pertama kalinya aku harus berhadapan langsung dengan pribadi-pribadi yang sangat idealis sekaligus keras kepala, dimulai dari sebuah diskusi internal sampai perdebatan terbuka mengenai apa yang harus kami lakukan dalam membimbing adik-adik kelas kami. Sangat disayangkan proses yang seharusnya berjalan indah itu, perlahan-lahan menjadi konflik terbuka diantara kami, walau sebenarnya hanya beberapa teman termasuk aku sendiri yang terlibat konflik terbuka tersebut, sedangkan mayoritas yang lain (silent majority) di angkatan kami adalah pribadi-pribadi yang netral dan tidak memihak salah satu pihak yang merasa paling benar.
Sangat disayangkan perbedaan idealisme dan konflik terbuka tersebut terbawa sampai kami lulus sekolah. Secara pribadi aku mohon maaf kepada semua teman-teman seperjuanganku Angkatan 1995 karena saat itu aku belum mampu memaafkan diri sendiri dan memaafkan mereka-mereka yang berkonflik denganku, aku justru memperuncing situasi dengan mengumpulkan teman-teman yang "sealiran" dan melakukan konflik terbuka dalam tataran wacana tentu saja, bukan dalam hal kekerasan dan syukurlah tidak pernah terjadi sampai tahap itu. Tetapi justru melalui peristiwa ini aku bisa melihat "luka" yang tersimpan dalam hati sejak lama antara satu pribadi dengan yang lainnya, ternyata kami belum sungguh-sungguh menjadi sebuah komunitas yang fraterna...yang sungguh bersaudara satu sama lain...sebuah proses yang belum kunjung selesai bagi kami...
Di akhir tahun masa studi setelah melalui permenungan yang panjang dan mendalam, aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di luar tembok Seminari setelah lulus, yang artinya aku tidak akan melanjutkan pendidikan ke tahun keempat di Seminari sebagai masa persiapan sebelum masuk Seminari Tinggi. Sebuah keputusan yang tidak mudah, karena waktu itu masih ada sedikit keinginan untuk tetap melakukan test masuk di salah satu serikat yang sangat kukagumi waktu itu. Sayang permohonanku kepada Pater Magister di Novisiat tersebut untuk menjalani test masuk langsung setelah lulus SMA di Seminari tidak diperbolehkan, kecuali jika aku menyelesaikan seluruh proses pendidikan sampai tahun keempat di Seminari.....

Sekedar sebuah sharing pengalaman.... 

Senin, 30 Mei 2011

Lionel Messi...Keindahan Mahakarya Sang Ilahi dalam Sepakbola

sugengsetyawan.blogspot.com

Keindahan terhadap suatu objek pasti bersifat subjektif, karena tergantung dari subjek (dalam hal ini manusia) yang melihat dan mengamati objek tersebut.
Dalam tataran filsafat, rumusan yang terkenal dari St. Thomas Aquinas adalah "Keindahan berkaitan dengan Pengetahuan". Pengetahuan akan sepakbola dan sedikit sejarah dan latar belakang seorang Lionel Messi sebagai objek yang kulihat dan kuamati adalah relevan sebagai alasan untuk mengaitkannya dengan keindahan. Berdasarkan pemahaman tersebut maka jelaslah bagiku bahwa sepakbola dan Lionel Messi sebagai suatu objek adalah juga sebuah keindahan.
Seperti halnya segala keindahan yang ada di bumi ini, semua ada karena diciptakan oleh Sang Ilahi, oleh karena itu perasaan subjektifitas manusia akan keindahan juga adalah bersifat Ilahi karena diciptakan sendiri oleh-Nya dalam diri setiap manusia. Segala hal ataupun materi yang indah pasti bersifat Ilahi. Dalam pemahaman yang sederhana inilah aku berani mengatakan bahwa Lionel Messi dan Barcelona FC adalah Keindahan Mahakarya Sang Ilahi dalam Sepakbola.

Lionel Messi, bocah yang dilahirkan di Rosario, Argentina 24 Juni 1987 adalah objek yang memiliki tingkat keindahan yang tinggi. Keindahan itu timbul pertama-tama dari kemiskinan yang melilit keluarganya seperti umumnya masyarakat di kota Rosario pada waktu itu, kemiskinan membuat orang tuanya tidak mampu memberikan perawatan medis yang layak karena penyakit kekurangan hormon yang dideritanya sejak lahir kedunia ini. Messi kecil ditolak di banyak klub karena penyakit yang dideritanya tidak memungkinkan untuk menjadi seorang pesepakbola yang handal, penyakit itu membuatnya tidak bisa tumbuh secara normal seperti anak-anak lain seusianya. Tetapi Messi kecil tidak pernah berhenti bermimpi....bahkan tanpa kenal lelah ditengah segala keterbatasan tersebut ia tetap bermain bola dari satu klub ke klub lainnya. Bermain bola baginya adalah sebuah kebahagiaan, ia tidak pernah merasa terbebani dengan keterbatasan fisik dan ekonomi keluarga untuk mengolah si kulit bundar...setiap hari ia berani untuk terus bermimpi....entah disadari atau tidak...jelas..ia telah memilih untuk tidak berkompromi terhadap realita yang dihadapinya...ia memilih untuk meraih mimpinya...mungkin karena di usia itu ia sudah menyadari bahwa Tuhan Allah yang memberkatinya bakat bermain bola pastilah akan membantunya dan mendampinginya setiap saat.

Keindahan kedua adalah fakta bahwa ketika berusia 12 tahun ia sudah harus meninggalkan keluarganya untuk masuk akademi sepakbola La Masia milik klub Barcelona. Tidak terbayangkan hidup jauh dari sang ibu di sebuah negeri asing, justru diusia disaat ia sangat membutuhkan kehadiran seorang ibu. Ia berjuang untuk meraih mimpinya walau ia ia tahu bahwa ia harus mengorbankan "naluri seorang anak" yang sangat membutuhkan kehadiran sang ibu. Di usia itu ia telah berani mengambil sebuah pilihan hidup, dan yang paling indah adalah keberaniannya mengambil segala resiko sebagai konsekuensi logis dari pilihanya itu.

Keindahannya yang ketiga tidak lain dan tidak bukan adalah bakat alamiah yang dimilikinya sebagai pemain sepakbola. Ia sangat indah karena ia mampu melakukan hal-hal yang hampir mustahil menjadi nyata, ia mampu membuat sesuatu yang mustahil untuk dilakukan manusia menjadi mungkin untuk dilakukan. Semua manusia yang mengklaim diri sebagai pencinta sepakbola pasti memahami momen-momen apa saja yang pernah dilakukan Messi dengan "sentuhan ajaibnya" di lapangan sepakbola...ia memang sungguh-sungguh titisan Sang Maestro...Diego Armando Maradona.

Keindahannya yang keempat adalah ekspresinya dalam setiap pertandingan, ia menunjukkan jiwa sportifitas level tinggi di usia yang sangat muda, berkali-kali ia dikasari dan dijatuhkan dengan menghalalkan segala cara oleh pemain lawan..ia selalu bangkit berdiri dan terus berlari...tidak pernah ia marah-marah sambil memaki wasit maupun pemain lawan yang berusaha mematikannya dengan segala cara.Bahkan Arsene Wenger pernah mengatakan Messi bermain bola ibarat anak-anak di Taman Kanak-kanak yang tidak perduli pada suasana disekitarnya, tetap bergembira dan bersemangat. Ia bermain dengan segenap hati...dengan segenap jiwanya...dengan segenap cintanya...kepada sepakbola itu sendiri.

Keindahannya yang kelima adalah kerendahan hatinya yang luar biasa. Walaupun dari sepakbola ia telah memiliki segalanya ia tidak pernah lupa dari mana ia berasal. Dalam biografi di akun facebooknya ia menulis "Berapapun jumlah gelar, trofi, dan penghargaan, aku akan selalu menjadi anak-anak yang tumbuh di Rosario, Santa Fe, Argentina" (Bola, Kompas.com).
Sebagai konsekuensi logis atas kesederhanaan hidupnya ia mendirikan Yayasan "The Leo Messi Foundation" sebuah lembaga amal untuk kesehatan dan pendidikan anak-anak. Ia tidak pernah terjebak dalam gaya hidup hedonis seperti layaknya gaya hidup foya-foya para bintang sepakbola dunia yang bersinar di Eropa.

Keindahannya yang keenam adalah kemampuannya untuk selalu mensyukuri setiap keberhasilan maupun kegagalan dalam perjuangannya di lapangan hijau. Sebagai penganut Agama Katolik yang taat dengan cara yang sangat sederhana ia selalu membuat tanda salib baik disaat ia berhasil mencetak gol...bahkan disaat ia gagal mencetak gol...disaat ia dan timnya kalahpun ia selalu membuat tanda salib sebagai ungkapan syukur sekaligus ungkapan spiritualitas bahwa hasil akhir sebuah perjuangan adalah kehendak-Nya juga yang terjadi. Kemampuan untuk melihat Allah dalam sebuah kegagalan itulah yang membuatnya indah sebagai manusia yang sederhana. Itulah beban salib yang ia panggul dengan setia..susah payah...sampai akhir pertandingan.

Itulah keindahan-keindahan yang bisa "kupetik" dari seorang bocah bernama Lionel Messi. Proficiat untuk gelar Champions ke-4 yang kau raih tahun ini bersama Barcelona FC....

Cari Blog Ini