Minggu, 08 Desember 2019

Sebuah Doa yang Hidup

Foto Oma Pur (Ibu Rita Ariani Soesilo) bersama staff pelaksana harian Marian Centre Indonesia

Aku mengenalnya lebih dari 4 tahun yang lalu, kehadirannya sering kali membuat bising telingaku, kalau dia sudah mulai bicara dan terus berbicara hampir tanpa henti…
Seperti burung-burung kenari yang selalu berkicau, tak pernah lelah dia berkicau, tak perduli apakah kicauannya indah atau sumbang bagi mereka yang mendengarnya…
Ibarat sebuah cermin, dia seolah memaksaku untuk mau belajar mendengarkan, Ya!! Mendengarkan bukan hanya dengan telingaku…tapi lebih dari itu…kicauannya seolah memaksaku untuk mau belajar mendengar dengan ketulusan hati….

Usianya tak lagi muda, jarak usia antara aku dengannya lebih dari 30 tahun, aku ibarat seorang anak kecil yang bodoh, dan dia ibarat seorang ibu yang serba sok tahu tentang segala hal dalam hidupku…tapi perbedaan usia itu tak mampu mencegah kami untuk saling berkicau satu sama lain dengan riuhya….Ya!! Kami adalah 2 burung kenari yang tak pernah lelah berkicau…

Hampir tak ada jarak diantara kami, kami bisa saling berdebat, saling mengkritik, dan juga saling menguatkan satu sama lain. Aku merasa bebas saat berkicau bersamanya, karena dia tak pernah membuat pagar penghalang bagiku, dia membiarkan aku masuk, membuka pintu hatinya dan membiarkan aku bermain dengan segala imajinasi dan kekonyolanku.

Usianya tak lagi muda, tetapi dia jauh lebih muda daripadaku dalam hal semangat untuk berkarya, dalam hal semangat untuk berdoa di kedalaman keheningan batin, dan dalam hal semangat untuk mau mati bagi dirinya sendiri, dan memilih hidup bagi orang lain…

Sebagai anak kecil yang bodoh, seringkali aku gagal memahami ibu yang satu ini, hatiku seringkali tak peka, telingaku lebih sering tuli, dan mulutku lebih sering menjadi hakim…
Tapi ibu yang sok tahu ini, tak pernah sekalipun lelah menyapaku, menyapa seorang anak kecil yang bodoh, dan tetap tersenyum kepadaku walau kadang sambil menyindirku…

Bagiku…dia adalah sebuah doa yang hidup, aku tak pernah bisa mengerti, bagaimana di tengah kesendirian hidupnya, di tengah segala pergumulan batinnya yang tak pernah mudah, dia justru semakin merasa intim dengan Sang Cinta. Ya, dia memilih untuk mencinta, dia memilih untuk menjadi abdi bagi Sang Cinta, dengan penuh perjuangan dan dengan segenap hatinya.
Pilihannya untuk mencinta, bisa selalu mudah kulihat dengan mata dan kepalaku, lewat hal-hal yang sangat sederhana, hal-hal yang bahkan sangat sepele dan kecil.

Bagiku…dia adalah guru dalam hal penyangkalan diri yang luar biasa, dia memilih menjadi korban dan mau mengorbankan diri demi kecintaannya menjadi abdi Sang Cinta.
Dia memilih menjadi korban, ketika dia memilih untuk menyimpan semua perkara di dalam hatinya…dan hanya melaksanakan apa yang harus dilakukannya sebagai seorang abdi. Sebuah pilihan spiritualitas yang diteladankan oleh Bunda Maria sendiri selama hidupnya.

Sehingga tak heran bagiku, ketika Tuhan Allah berkenan untuk memanggilnya pulang pada hari Sabtu Pertama, hari di mana dalam tradisi Gereja Katolik dikenal sebagai Sabtu Imam, hari yang dipersembahkan khusus untuk mendoakan para imam dan mempersembahkannya kepada Bunda Maria, karena Bunda Maria adalah Ratu Para Imam.

Doakanlah kami yang masih berjuang ini,
Sampai jumpa di alam keabadian ibuku yang sok tahu, semoga ketika saat itu tiba, kita bisa kembali berkicau bersama seperti burung-burung kenari 


Cari Blog Ini