Kamis, 18 Mei 2017

Mengubah Paradigma Mengenai Kepemimpinan Dalam Konteks Organisasi Bahwa Setiap Orang Adalah Pemimpin



Abstrak
Mengubah paradigma secara total mengenai konsep kepemimpinan bahwa kemampuan untuk memimpin diri sendiri dan orang lain pada dasarnya dimiliki oleh setiap individu dan tidak tergantung pada satu orang besar saja merupakan filosofi dasar kepemimpinan heroik. Kepemimpinan heroik yang ditawarkan oleh Chris Lowney yang bertumpu pada empat pilar kepemimpinan yaitu kesadaran diri, ingenuitas, cinta dan heroisme merupakan proses belajar yang berlangsung terus menerus bagi setiap individu di dalam organisasi. Oleh karena itu, konsep kepemimpinan heroik merupakan sebuah keharusan atau syarat mutlak bagi organisasi apapun agar dapat tetap hidup, berkembang dan mencapai tujuannya. Organisasi yang tumbuh dan berkembang adalah organisasi yang mensyaratkan proses pembelajaran secara terus menerus bagi setiap individu dalam mengembangkan potensi kapabilitasnya. Berdasarkan pemahaman tersebut, makalah ini akan membahas bagaimana kepeminpinan heroik melalui empat pilarnya akan menuntun kita dalam sebuah proses belajar untuk  mengubah paradigma kita selama ini mengenai kepeminpinan,  sekaligus membangkitkan kesadaran kita untuk secara terus menerus melakukan refleksi atas peran dan eksistensi diri kita sebagai individu di dalam organisasi.

Pendahuluan
Kepemimpinan selama ini dipahami dalam hubungannya dengan suatu posisi atau jabatan tertentu di dalam organisasi. Adanya pola pembagian kekuasaan serta rentang kendali dalam hirarki kekuasaan sebagai karakter struktural organisasi, secara tanpa sadar telah membuat kita beranggapan bahwa kepemimpinan hanyalah milik para pemimpin saja. Davis (1951) mendefinisikan organisasi sebagai kelompok individu, yang bekerjasama di bawah seorang pimpinan, untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Paradigma mengenai kepeminpinan tersebut secara tanpa sadar telah membuat kita membodohi diri sendiri bahwa sebagai individu, masing-masing dari kita, dengan segala posisi dan tugas sebagai seorang bawahan di dalam organisasi bukanlah seorang pemimpin.
Paradigma inilah yang harus kita ubah secara mendasar melalui sebuah paradigma baru mengenai kepemimpinan yang ditawarkan oleh Chris Lowney yaitu Kepemimpinan Heroik. Chris Lowney (2005) menyebutkan bahwa “setiap orang pada dasarnya adalah pemimpin yang memimpin sepanjang hidupnya” (hal.18). Dengan menyadari bahwa konteks mengenai kepemimpinan begitu luas dan ragam, maka penulis membatasi pembahasan hanya mengenai kepemimpinan dalam konteks organisasi  Makalah ini bertujuan untuk mengubah paradigma kita mengenai konsep kepemimpinan dalam konteks organisasi sekaligus sebagai bahan refleksi kita dalam memahami diri sendiri secara utuh sebagai individu.

Mengubah Paradigma Mengenai Kepemimpinan
Menurut Vardiansyah (2008). “Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif)” (hal.27). Berdasarkan definisi tersebut, kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa paradigma berperan sangat besar bahkan dominan dalam mempengaruhi  cara berpikir, bersikap dan bertingkah laku kita. Paradigma mengenai kepemimpinan bahwa kepemimpinan hanyalah otoritas para pemimpin di dalam organisasi akan membuat kita meyakini satu hal sebagai sebuah kebenaran yaitu bahwa kita yang tidak menjadi pemimpin, yang berada di posisi atau jabatan bawahan dalam organisasi akan berpikir, bersikap, dan bertingkah laku bahwa kita bukanlah pemimpin dan tidak memiliki kepemimpinan.
Ngalim Purwanto (1991). “Kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan, untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa.” (hal.26). Memahami kepemimpinan dalam konteks tersebut, kita bisa memahami dengan sangat sederhana bahwa kepemimpinan berhubungan dengan kemampuan dan sifat-sifat kepribadian seseorang. Permasalahannya adalah “Apakah kemampuan dan sifat-sifat kepribadian tersebut hanya ditakdirkan menjadi milik segelintir orang saja ?”. Berdasarkan pertanyaan tersebut mari kita menggali lebih dalam lagi melalui sebuah  pertanyaan yang bersifat reflektif bagi kita semua yaitu “Apakah dengan tidak menempati posisi atau jabatan sebagai seorang pemimpin dalam organisasi  kita tidak memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain agar mereka mau bekerja bersama dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin,  serta merasa tidak terpaksa ?”. Pertanyaan reflektif tersebut penting untuk diajukan agar kita mau untuk bercermin dan jujur pada diri kita sendiri sejauh mana kita sebagai individu telah mengembangkan segenap potensi diri kita melalui proses belajar yang terus menerus
Dalam memahami pertanyaan reflektif tersebut, konsep kepemimpinan heroik yang ditawarkan Chris Lowney menjadi amat relevan bagi kita semua. Dalam konteks ini, Lowney sebagai seorang mantan Jesuit, yang pernah mengalami masa-masa pendidikan, pembentukan karakter di dalam sebuah lembaga Serikat Jesuit dengan bahasa yang sederhana berusaha merumuskan Konsep Kepemimpinan Menurut Jesuit. Kepemimpinan bagi para Jesuit bukan hanya sekedar sebuah taktik, teknik atau strategi belaka, tetapi lebih dari itu adalah sebuah prinsip dan nilai personal seseorang sebagai pribadi yang utuh di dalam memaknai kehidupannya. Lowney (2005) menyebutkan bahwa Kepemimpinan Jesuit menolak model kepemimpinan perintah dan kontrol. Dengan sangat jelas. Lowney menggambarkan konsep kepemimpinan menurut Jesuit sebagai berikut :
1.      Kita semua adalah pemimpin, dan kita memimpin sepanjang waktu dengan cara yang baik atau buruk.
Dalam konteks organisasi, kita bisa mulai memahami bahwa bahwa menjadi seorang pemimpin dan memiliki kepemimpinan tidak dapat dibatasi oleh struktur formal organisasi. Hirarki kekuasaan yang tergambar dalam struktur formal pembagian wewenang dalam organisasi tidak akan pernah mampu membatasi kebebasan penuh kita dalam memaknai diri sebagai seorang pemimpin. Baik di dalam maupun di luar organisasi, kita semua memimpin sepanjang waktu, dalam tataran yang paling minimal, kita memimpin diri kita sendiri, menjadi pemimpin atas diri sendiri
2.      Kepemimpinan keluar dari dalam. Halnya tidak hanya berkaitan dengan apa yang kulakukan, melainkan juga dengan siapa aku.
Kepemimpinan bukanlah sebuah peran yang kita jalani, melainkan lebih dari itu, kepemimpinan adalah mengenai siapa diri kita sesungguhnya. Pemahaman yang utuh mengenai diri sendiri adalah fondasi yang paling mendasar untuk menjadi seorang pemimpin.
3.      Kepemimpinan bukan suatu tindakan. Kepemimpinan ialah hidupku, suatu cara hidup.
Kepemimpinan dimaknai sebagai sebuah pemahaman yang lebih mendalam mengenai bagaimana kita menjalani hidup harian kita. Nilai-nilai apa yang kita jadikan sebagai sebuah pegangan, sebuah pandangan hidup (way of life) yang menjadi dasar bagi kita dalam menjalani hidup harian kita.
4.      Aku tak pernah merampungkan tugas menjadi pemimpin. Kepemimpinan merupakan sebuah proses yang berlangsung terus-menerus.
Kepemimpinan adalah sebuah proses pembelajaran yang tidak pernah akan selesai, karena selama kita menjalani hidup kita, selama itu pula kepemimpinan sebagai sebuah proses akan berlangsung secara terus menerus.
Berdasarkan konsep kepemimpinan menurut Jesuit tersebut, kita bisa memahami secara sederhana bahwa kita semua sebagai individu, sebagai pribadi adalah pemimpin dan oleh karena itu, kepemimpinan bukanlah milik eksklusif orang atau individu tertentu, melainkan milik setiap individu. Kepemimpinan adalah mengenai siapa aku, mengenai hidupku secara utuh, mengenai suatu cara hidup. Inilah prinsip dan nilai personal yang sangat mendasar dan harus kita yakini sebagai pribadi, bahwa kita semua tanpa kecuali, apapun tugas dan peran kita dalam organisasi, tugas dan peran yang kita jalani dalam hidup harian kita, kita semua adalah pemimpin.

Empat Pilar Kepemimpinan Heroik
Untuk lebih memahami kepemimpinan sebagai siapa aku, sebagai hidupku dan sebagai suatu cara hidup, kita harus mau belajar untuk lebih mengenal diri kita sendiri terlebih dahulu. Proses pembelajaran untuk mengenal diri ini memerlukan kesediaan untuk mau melakukan refleksi atas keseluruhan hidup yang kita jalani selama ini.
Empat Pilar kepemimpinan Heroik yang ditawarkan oleh Chris Lowney merupakan fondasi dasar bagi kita dalam memahami kepemimpinan heroik, sekaligus bahan refleksi yang sangat membantu bagi kita dalam mengenal lebih dalam siapa diri kita sesungguhnya. Empat Pilar Kepemimpinan Heroik ini sendiri merupakan hasil refleksi pribadi Chris Lowney dalam konteks kepemimpinan.
Keempat Pilar Kepemimpinan Heroik tersebut yaitu :
1.      Kesadaran Diri.
Yaitu kemampuan dan kemauan untuk memahami secara utuh mengenai kekuatan, kelemahan, nilai-nilai dan pandangan hidup diri kita sendiri.
Beberapa pertanyaan reflektif yang bisa penulis tawarkan untuk membantu kita dalam memahami pilar pertama ini, yaitu sebagai berikut :
1.Bakat dan potensi diri apa yang aku miliki? Yang dengan begitu mudah dapat kulakukan? Sedangkan orang lain membutuhkan proses dan waktu yang lebih lama untuk melakukannya?
7. Kelemahan-kelemahan apa yang ada dalam diriku? Dan mengapa kelemahan tersebut sulit sekali ku atasi?
2.Kebaikan-kebaikan apa yang ada dalam diriku?
8. Hal-hal apa saja dalam hidupku yang menurutku layak untuk terus diperjuangkan?
3.Hal-hal apa saja yang mampu membuatku merasa bergairah dalam menjalani hidupku? Dan mengapa?
9. Kejadian-kejadian apa dalam hidupku yang membuatku merasa hidup lebih bermakna? Dan mengapa?
4.Kejadian-kejadian apa dalam hidupku yang sangat tidak aku sukai dan membuatku merasa kecewa?
10. Kelalaian-kelalaian apa yang sering kulakukan baik secara sadar maupun tanpa sadar?
5.Ketakutan-ketakutan apa yang selalu menghantui dalam hidupku? Dan mengapa aku takut akan hal tersebut?
11. Nilai-nilai hidup apa yang paling berharga dalam hidupku? Dan mengapa itu berharga untuk tetap kupertahankan?
6. Apakah aku sering mengalami kegagalan dalam mencapai apa yang ingin kucapai dalam hidupku? Dan mengapa itu terjadi?
12. Pandangan-pandangan hidup apa yang paling penting bagiku? Dan mengapa itu penting bagiku?
Pilar pertama mengenai kesadaran diri ini adalah pilar yang menjadi fondasi dasar untuk dipahami dan direfleksikan secara sungguh-sungguh sebelum kita belajar memahami dan merefleksikan ketiga pilar berikutnya. Pertanyaan-pertanyaan reflektif tersebut di atas akan membantu kita dalam menemukan kesadaran diri mengenai siapa aku? Mengenai hidupku dan cara hidupku. Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga merupakan sebuah proses belajar, karena dengan menyadari dan mengetahui apa yang menjadi kelemahan-kelemahan kita, kita akan berusaha untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut untuk menjadi lebih baik. Begitupun jika kita mengetahui dan menyadari apa yang menjadi kelebihan-kelebihan kita, maka kita akan berusaha untuk memaksimalkan kelebihan tersebut untuk mencapai apa yang kita inginkan. Karena hanya mereka yang mengetahui dan menyadari siapa dirinya secara utuh dan apa yang diinginkannya akan mampu berlari kencang untuk mengejar keinginannya dengan penuh semangat, sekaligus menjadi inspirasi bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama.
2.      Ingenuitas
Yaitu kemampuan untuk berinovasi dan beradaptasi dengan penuh keyakinan terhadap dunia yang terus berubah.
Perubahan adalah sesuatu yang tidak terelakan dalam hidup kita, sesuatu yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Sehingga satu-satunya pilihan bagi kita adalah menghadapi perubahan tersebut. Setelah kita merefleksikan mengenai kesadaran diri kita secara utuh dan mulai memahami dengan lebih baik siapa diri kita, kita akan kembali berefleksi mengenai sikap kita terhadap dunia yang terus berubah. Ingenuitas merupakan sebuah pijakan bagi kita dalam menghadapi badai perubahan, beberapa pertanyaan reflektif yang dapat penulis ajukan dalam konteks membentuk ingenuitas sebagai individu yaitu sebagai berikut :
1.      Apakah perubahan-perubahan yang terjadi baik di dalam hidupku maupun lingkungan sekitarku adalah sesuatu yang menakutkan? Dan mengapa?
4. Apakah aku mau melihat perubahan sebagai sebuah tantangan yang menarik untuk dihadapi dan dijalani ?
2.      Apakah aku merasa kenyamanan hidup yang kurasakan menjadi terganggu dengan adanya perubahan?
5. Apakah aku bersedia untuk beradaptasi dalam menghadapi perubahan demi mencapai apa yang kuinginkan?
3.      Apakah aku pernah melihat dan menemukan banyak kesempatan yang dapat kumanfaatkan dalam setiap perubahan yang kualami dalam hidupku?
6. Mampukah aku menerima perubahan sebagai sesuatu yang positif bagi pengembangan potensi diriku? Sepahit apapun perubahan itu menerpa hidupku?
Sikap ingenuitas adalah proses memerdekakan diri kita dari keterkukungan kita terhadap segala kenyamanan yang kita alami. Justru dengan sikap ingenuitas, kita akan belajar untuk tetap merasa nyaman dalam setiap perubahan yang kita alami, karena pada akhirnya kita memahami dengan sungguh bahwa perubahan ternyata adalah kesempatan yang luar biasa bagi kita untuk mengembangkan segala potensi diri yang kita miliki. Sikap ingenuitas yang dilandasi akan kesadaran diri akan memampukan kita untuk larut dalam perubahan tetapi tidak ikut terhanyut, karena ingenuitas yang dilandasi oleh kesadaran diri akan memampukan kita untuk memaknai perubahan berdasarkan nilai-nilai dan prinsip serta pandangan hidup yang kita anut sebagai hasil dari proses kesadaran diri tersebut.
3.   Cinta
      Yaitu kesediaan untuk terlibat dengan, dan melibatkan orang lain dengan sikap positif yang memungkinkan perkembangan potensi dan bakat terpendam mereka.
Lowney (2005) menggambarkan bahwa “seseorang yang mendasarkan kehidupannya pada cinta akan terus selalu melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagai mahluk berharga, yang mempunyai potensi yang senantiasa perlu diterus kembangkan.” (hal.37).
Hakikat dari cinta pada dasarnya adalah sebuah pemberian diri, setelah merefleksikan kesadaran diri dan sikap ingenuitas, kita akan berfleksi mengenai makna cinta sebagai sebuah pemberian diri. Kesediaan kita untuk mau dengan rendah hati menghargai dan membantu orang lain untuk ikut mengembangkan potensi dan bakat terpendam mereka, bukan saja akan membuat relasi kehidupan menjadi lebih harmonis, lebih dari itu dalam konteks organisasi akan menciptakan sebuah sinergi yang luar biasa dalam mencapai tujuan bersama.
Beberapa pertanyaan reflektif yang dapat penulis ajukan sehubungan dengan pilar cinta yaitu sebagai berikut :
1. Apakah aku bersedia dengan penuh kerendahan hati untuk mau mengakui kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh orang lain?
4. Apakah aku bersedia membantu orang lain dengan sepenuh hati untuk mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya?
2. Apakah aku bersedia menerima kekurangan-kekurangan orang lain yang bekerjasama denganku?
5. Apakah aku bersedia untuk memaknai kehadiran orang lain dalam hidupku sebagai sebuah kesempatan untuk semakin mengenal diriku sendiri?
3. Apakah aku bersedia untuk melakukan komunikasi yang santun dan menghormati orang lain tanpa memandang perbedaan status?
6. Apakah aku bersedia dikritik oleh orang lain dan menerima kritikan tersebut sebagai sebuah sapaan tanda persahabatan?
Dengan mengembangkan sikap cinta dalam relasi dengan orang lain, secara tidak langsung kita akan belajar mengenai kepemimpinan yang efektif. Karena pada hakikatnya keberhasilan sebuah kepemimpinan adalah bagaimana setiap orang yang bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama dapat saling mengembangkan diri satu sama lain.
4.   Heroisme
Yaitu menyemangati diri sendiri dan orang lain dengan ambisi-ambisi dan hasrat-hasrat heroik untuk melakukan segala sesuatu secara tuntas dan prima.
Sikap heroisme dilandasi oleh sebuah semangat dari dalam diri kita, sebuah semangat yang memiliki daya luar biasa besar yang akan memampukan kita bukan hanya untuk memiliki mimpi-mimpi yang besar, tetapi lebih dari itu memampukan kita untuk melakukan hal-hal yang besar dan luar biasa. Setelah memahami mengenai kesadaran diri, ingenuitas dan cinta, kita akan kembali berefleksi mengenai sikap heroism sebagai pilar terakhir dalam kepemimpinan heroik. Beberapa pertanyaan reflektif yang dapat penulis ajukan sehubungan dengan pilar keempat ini yaitu :
1. Apakah aku memandang sebuah tugas atau pekerjaan sebagai beban atau kesempatan?
5. Apakah aku terbiasa untuk menyelesaikan sesuatu secara tuntas dan prima?
2. Apakah aku selalu menggunakan target dalam melakukan sebuah tugas atau pekerjaan?
6. Apakah aku telah memaknai tugas dan pekerjaan sebagai sebuah ibadah yang tidak boleh dilakukan setengah-setengah?
3. Apakah aku telah puas dengan segala yang telah aku capai dalam pekerjaan dan tugasku selama ini? Dan mengapa?
7. Apakah aku tetap merasa tenang dan biasa-biasa saja bahkan ketika tugas dan pekerjaanku belum diselesaikan dengan baik?
4. Apakah aku selalu ingin berbuat lebih dari sekedar menyelesaikan tugas dan pekerjaan dengan baik? Dan mengapa?
8. Apakah aku selalu melakukan evaluasi setiap kali sebuah tugas atau pekerjaan telah selesai kulakukan?
Semangat yang berdaya magis berupa sikap heroisme jelas membutuhkan energi yang luar biasa, karena sebuah prestasi besar hanya akan dihasilkan dari pengorbanan yang juga besar. Energi yang berupa semangat yang berdaya magis ini hanya akan dapat tumbuh dan berkembang dalam pribadi individu yang telah merefleksikan kesadaran dirinya, ingenuitasnya dan cintanya sebagai kesatuan yang utuh.
Keempat pilar kepemimpinan heroik tersebut pada hakikatnya adalah sebuah kesatuan yang utuh terintegrasi satu sama lain, tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain. Sebagai sebuah proses pembelajaran yang berlangsung secara terus menerus, kepemimpinan heroik akan sangat berguna dalam membentuk pola mental individu, khususnya dalam konteks pencapaian tujuan organisasi. Karena organisasi yang tumbuh dan berkembang adalah organisasi dimana setiap individu yang ada di dalamnya memiliki kesediaan dan kerelaan untuk belajar, bukan hanya mengenai kompetensi teknis yang diperlukan, tetapi lebih dari itu belajar untuk memahami dirinya secara utuh, belajar untuk tangguh dalam menghadapi perubahan, belajar untuk mau dengan kerelaan hati menghargai orang lain sebagai sebuah pemberian diri demi kebaikan bersama, dan belajar untuk selalu menyemangati diri untuk mencapai baik tujuan pribadi maupun tujuan organisasi.

Penutup.
Dengan mengubah paradigma mengenai kepemimpinan,  maka kita akan memiliki sebuah modal yang sangat berharga dalam hidup kita, yaitu sebuah keyakinan yang tidak terbantahkan bahwa kita semua masing-masing, tiap individu adalah seorang pemimpin dan memiliki kepemimpinan. Keyakinan ini hanya akan tetap hidup jika kita secara konsisten mau dan mampu menerapkan Konsep Kepemimpinan menurut Jesuit yaitu bahwa kepemimpinan adalah mengenai siapa aku, mengenai hidupku secara utuh, mengenai suatu cara hidup. Kesediaan kita untuk secara konsisten menerapkan sebuah gaya hidup baru yaitu gaya hidup reflektif, kemampuan untuk melakukan evaluasi diri berdasarkan Keempat Pilar Kepemimpinan Heroik mengenai semua peran, tugas dan tanggung jawab kita di dalam organisasi maka tidak ada sesuatu apapun termasuk struktur formal dalam organisasi yang mampu menghalangi diri kita untuk menjadi seorang pemimpin.

Daftar Pustaka
Lowney, C. (2005). Heroic Leadership: Praktik Terbaik “Perusahaan” Berumur 450 Tahun yang Mengubah Dunia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.

Vardiansyah, D. (2008). Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta.

Purwanto, M. Ngalim. (1991). Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung



Cari Blog Ini