"Verba Volent, Scripta Manent"...kata yang terucap akan mudah hilang terbawa angin, kata yang tertulis akan abadi.
Senin, 24 Agustus 2009
Cinta Datang untuk Menyatukan Perbedaan (Tanggapan atas Pernikahan Beda Agama)
Sabtu, 15 Agustus 2009
Blog Kompasiana...Sebuah "Rumah Sakit"...?
Menarik sekali…saya melihat ada banyak sekali kata-kata “rumah sehat” yang sering ditulis olah para blogger senior sebagai julukan bagi media komunikasi blog kompasiana. Mohon maaf atas ketidaktahuan saya….mohon ada yang bisa membantu menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan “rumah sehat”?, karena seperti yg saya tulis dalam comment saya sebelumnya…bahwa makna kata “sehat” pasti memiliki ukuran-ukuran tertentu..agar bisa disebut “sehat”. Apa yang menjadi kriteria dan/atau syarat agar bisa disebut sebagai “rumah sehat”?
Sehubungan beberapa pertanyaan saya yg belum dijawab diatas…saya ingin sedikit men-sharingkan pendapat saya pribadi tentang makna kata “rumah sehat” tersebut.
Saya sengaja menulis judul diatas, karena menurut saya…kata “sehat” baru memiliki makna jika kita memahami apa makna dari kata “sakit”. Tanpa ada kata “sakit” tentu tidak akan ada pula kata “sehat”..begitu juga sebaliknya. Sebuah kata baru bisa bermakna jika kita mengkaitkannya dalam konteks tertentu, entah situasi,gejala,materi/benda, dan lainnya. Dalam konteks sebagai sebuah media pembelajaran..dimana kita sama-sama sepakat untuk masih belajar, entah belajar menulis..belajar mengungkapkan pikiran…belajar menerima kritik dan seribu satu macam pembelajaran lainnya, kita sepakat untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dalam proses pembelajaran itu.
Dalam konteks itu…saya memahami makna kata “rumah sehat” sebagai “rumah yang bersih dari segala macam penyakit”…makna kata “penyakit” disini..saya gambarkan sebagai berbagai macam kekurangan/kesalahan baik yang disengaja maupun tidak…dalam mengungkapkan pemikiran ataupun memberikan comment. Satu hal yang pasti adalah bahwa dalam proses belajar….kesalahan dan kekurangan tersebut mutlak diperlukan, karena justru dari situ kita mendapatkan sebuah pelajaran bukan? Kita tidak akan pernah tahu perbedaan mana yang benar..jika kita juga tidak tahu mana yang salah….Memang adalah hal yang mutlak bagi admin sebagai pemilik “rumah” untuk menentukan aturan main dan membuat kriteria ataupun syarat agar kesalahan dan kekurangan itu bisa dibatasi.
Saya menggunakan kata “rumah sakit” karena jika kita membayangkan sebuah Rumah Sakit, maka makna yg terkandung adalah sebuah rumah untuk merawat dan mengobati yang sakit. Di rumah itu para dokter dan perawat sebagai “pemilik” rumah…merawat pasien dengan penuh kesabaran, tidak boleh menolak penyakit seberat apapun penyakitnya…dan di rumah itulah penyakit itu dianalisa dan berusaha disembuhkan agar tidak terulang dikemudian hari. Tanpa disadari…sebenarnya juga terjadi proses pembelajaran di rumah sakit itu…ya..para dokter dan perawat bisa juga belajar dari para pasien tentang banyak hal…begitu juga sebaliknya dari komunikasi dan interaksi mereka sehari-hari. Mereka bekerja bersama, belajar satu sama lain…dan berusaha sekuat tenaga untuk sembuh dari penyakitnya.
Kembali kepada proses pembelajaran tadi…menurut saya kata belajar mengandung makna yang jika dianalogikan yaitu :”dari yang salah menjadi tahu dan sadar akan apa yang benar”. Oleh karena itu, kesalahan dan kekurangan haruslah menjadi faktor utama dalam proses pembelajaran itu. Aturan main dan wewenang lain yang dimiliki admin jika bisa dikaitkan seperti peran dokter dan perawat seperti gambaran saya diatas…pasti proses pembelajarannya akan sangat bermanfaat. Jika kita menjuluki media kita sebagai “rumah sehat”…maka semua “penyakit” tidak boleh masuk ke “rumah” ini…”rumah” harus senantiasa steril dari berbagai “penyakit”….Jika seperti itu analoginya…bagaimana kita bisa belajar satu sama lain?
Setelah saya membaca banyak artikel dan memberikan comment pada beberapa tulisan..saya melihat justru julukan media kita sebagai “rumah sakit” terasa lebih mengena….karena bukankah itu peran yang sudah dilakukan oleh rekan-rekan blogger dan para admin selama ini?….”Rumah Sakit” berusaha untuk mencapai tujuan mulia melalui proses pembelajaran untuk “menyehatkan seluruh penghuninya”…..
Terima kasih.
Idealisme VS Pragmatisme...Quo Vadis PDI Perjuangan...??? (Catatan Seorang Kawan)
Mohon maaf sebelumnya...jika tulisan ini tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah argumentasi objektif...karena unsur subjektifitas yang sangat "tinggi"...maka dengan segala kerendahan hati, anggap saja ini tidak lebih daripada sebuah ungkapan curhat dari sanubariku yang paling dalam. Bukan dari seorang kader partai...sama sekali bukan...tetapi seorang kawan...kawan yang mencintai kawannya dengan cinta yang dewasa...bukan cinta yang buta...
Ketika aku memutuskan untuk memilihmu kawan...aku sadar bahwa aku tidak sedang berjudi...aku sadar akan semua sejarah perjalanan hidupmu kawan...perjalanan hidup yang lebih dominan diwarnai oleh penderitaan...kekalahan...penindasan...dan bahkan...kekhilafan ketika engkau duduk berkuasa....aku sadar bahwa seperti engkau, akupun akan selalu berpihak pada mereka yang lemah dan tertindas...dan akupun sadar bahwa satu-satunya alasan rasional bagiku untuk memilihmu adalah...IDEALISME...
Ya..kata itu memiliki makna yang teramat dalam bagiku, makna akan sebuah cita-cita. Engkau rela meninggalkan semua "kenikmatan" untuk bersekutu dengan penguasa ketika engkau secara tegas memilih ber-oposisi. Walaupun engkau masih gagap melakukannya...aku bisa mengerti itu kawan...karena akupun tahu bahwa tradisi "sulit" seperti itu tidak pernah ada sepanjang sejarah Republik ini berdiri...dan akupun tahu secara teori bahwa dalam sistem Presidensial tidak ada istilah itu...akupun juga tahu bahwa engkau hanyalah "sendirian" di gedung wakil rakyat yang megah itu...tetapi engkau tetap melakukannya...
Terima kasih kawan..ketika engkau dengan tegas menolak kenaikan BBM yang tertinggi sepanjang sejarah kita...terima kasih ketika engkau berjuang habis-habisan walaupun akhirnya kalah ketika memperjuangkan keadilan bagi kawan-kawan seperjuangan kami yang tewas dalam kasus pelanggaran HAM peristiwa Trisakti...Semanggi satu dan dua...
Idealisme memang menuntut pengorbanan kawan...akupun tahu besarnya pengorbananmu memerankan posisi yang "sulit" itu...mungkin orang lain hanya melihatnya sebagai sebuah penebusan dosa atas kegagalanmu sebelumnya...Tetapi bagiku...engkau lebih dari itu. Karena aku teramat tahu akan "polah" elit politik di negeri ini yang lebih memilih menghamba kepada kekuasaan daripada hidup sulit demi sebuah idealisme...
Engkau memilih untuk TIDAK berkompromi...dan itu yang membuatmu berbeda di mataku kawan...engkau memilih untuk berpijak diatas idealisme...sepahit apapun rasanya...
Tetapi...aku agak khawatir akhir-akhir ini kawan...tiap kali aku mengikuti langkah-langkahmu belakangan ini...sepertinya engkau "agak sedikit berubah". Harian KOMPAS edisi Kamis, 13 Agustus 2009 di halaman tiga, tertulislah sebuah berita yang membuatku terperangah..."Taufik Yakin Terpilih sebagai Ketua MPR". Berita itu justru datang sehari setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatanmu tentang proses pemilu lalu.
Ada apa kawan?? lebih jauh aku mencari tahu...lebih sakit lagi rasanya...aku melihat ibumu berjuang sendirian dengan kekerasan hatinya...ibumu berjuang atas nama idealisme ketika secara tegas menolak "pinangan" SBY melalui Hatta Rajasa sebelum Pilpres...ibumu dengan tegas mengatakan tidak kepada Prabowo yang dengan segala kelebihannya ingin menjadi calon nomor satu...padahal aku yakin ibumu sendiri tahu adalah tidak mungkin mengalahkan SBY secara head to head...tetapi ia tetap melakukannya...
Sekarang ia sendiri...ia ditinggalkan oleh suami,anak dan orang-orang terdekatnya. Engkau menjadi PRAGMATIS seperti halnya elit-elit politik di partai yang lain...engkau seperti kelelahan menjalani hidup sulit demi sebuah idealisme...
Jangan lupa akan sejarah hidupmu kawan...dulu engkau menjadi besar karena semua pengorbananmu...walau coba "dihabisi" dengan berbagai cara oleh sang penguasa. Engkau jatuh berkali-kali..tetapi engkau bangkit berdiri kembali...setiap kali engkau jatuh.
Pragmatisme dalam politik adalah sesuatu yang ditradisikan dalam budaya kita sebagai sesuatu yang wajar, karena orientasi politik adalah kekuasaan. Tapi aku ingin agar engkau juga melihat politik sebagai sebuah nilai yang jauh lebih tinggi dari sekedar kekuasaan, yaitu nilai untuk memberikan pendidikan politik kepada rakyat bahwa berpolitik adalah sebuah ladang pengabdian terhadap rakyat. Ladang pengabdian yang justru lebih efektif dilakukan jika engkau berada di luar kekuasaan...engkau dengan segala kepekaan nurani dan argumentasi rasional dapat "melawan" kehendak penguasa yang suatu waktu dapat mengkhianati cita-cita kemerdekaan kita sebagai sebuah bangsa. Karena sebaik apapun seorang penguasa dan rezimnya...ia tetap harus diawasi dan dikontrol...karena jika tidak, berarti kita tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalu.
Bangunlah kawan..!! jangan dulu terlelap tidur...perjuanganmu belumlah selesai..."racun" pragmatisme sedang menggerogoti tubuhmu...jangan biarkan "racun" itu menguasai seluruh tubuhmu...jangan kotori tubuhmu dengan membiarkannya hidup sampai ia mengendalikan tubuh dan pikiranmu!!
Karena jika itu sungguh terjadi...maka engkau bukanlah lagi kawan yang pernah aku kenal...engkau tidak pantas mengidentifikasi dirimu sebagai partai "Wong Cilik"...karena penguasa tidak pernah berpihak kepada mereka.
Bangunlah kawan...sadarlah...bukan untukku...bukan pula demi dirimu sendiri...tetapi demi demokrasi di Republik ini...Demokrasi dimana rakyat menjadi penguasa tertinggi...dan engkau adalah abdinya...
Sabtu, 08 Agustus 2009
Terima Kasih Terorisme....
Dalam tulisan kali ini, saya hanya akan membatasi ungkapan terima kasih saya khusus kepada yg disebutkan paling akhir diatas...buronan yang "Most Wanted" di Republik ini.
Terlepas dari informasi yang masih belum jelas tentang apakah jenazah yang tertembak jam 10 pagi ini adalah seorang Noordin M.Top? Satu hal yang pasti bahwa orang tersebut adalah seorang teroris...terlihat dari bagaimana ia bertahan dan melakukan perlawanan dengan segala amunisi yang dimilikinya.
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Polri khususnya Densus 88 yang dalam waktu kurang dari 1 bulan sejak kejadian bom di Marriot dan Ritz Carlton mampu memberikan "shock teraphy" bagi gerakan terorisme di Indonesia. Dihari yang bersamaan sejak Jumat, 7 Agustus 2009 sore dan Sabtu,8 Agustus 2009 dini hari dilakukan penyergapan dengan unsur dadakan yang cukup efektif di dua tempat berbeda Jatiasih, Bekasi dan Temanggung, Jawa Tengah. Proficiat......!!!
Selain kepada Polri, saya juga merasa perlu untuk mengucapkan terima kasih kepada gerakan terorisme yang semakin marak aktifitasnya sejak runtuhnya rezim Orde Baru. Dalam konteks ini saya memandang gerakan terorisme sebagai sebuah cermin bagi kita sebagai sebuah Bangsa...cermin yang secara jujur "menelanjangi" banyak hal dan detil dari setiap kondisi "fisik" maupun "mental" kita yang mungkin tidak terlihat hanya sekilas pandang...cermin yang membuat kita mampu jujur didalam hati tentang "borok,kutil,jerawat" yang menghiasi wajah kita tetapi selalu berusaha kita tutupi...
Terorisme sebagai bagian dari budaya kekerasan sebuah bangsa.
Terorisme adalah juga sebuah budaya, hasil dari pemikiran dan aktifitas manusia yang berkembang seiring berjalannya waktu. Cara dan metodenya terus berkembang, walaupun tujuannya hanya satu yaitu menciptakan teror dan ketakutan yg bersifat masif. Budaya teror adalah juga budaya kekerasan, karena memandang bahwa hanya dengan kekerasan saja tujuan perjuangan itu bisa dicapai. Sejarah bangsa ini mengajarkan bahwa budaya kekerasan tersebut juga menjadi bagian dari sejarah nenek moyang dan para pendahulu kita. Perjuangan meraih kemerdekaan dari penjajahan asing sejak masih bersifat lokal kedaerahan hingga bersifat nasional sebagai sebuah perjuangan seluruh bangsa telah mengajarkan kepada kita bahwa hanya dengan melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan...kemerdekaan itu bisa kita raih. Dalam setiap suku di Indonesia, budaya kekerasan juga cukup kental, kita bisa melihat sebagai contoh budaya untuk berperang antar suku dalam menyelesaikan sebuah permasalahan adat.
Saya tidak bermaksud membandingkan gerakan terorisme dengan gerakan revolusi fisik di masa perjuangan dulu ataupun budaya perang suku yg ada di hampir semua suku di Indonesia. Saya rasa Anda semua juga pasti sangat paham dimana letak perbedaanya....
Substansi yang ingin saya sampaikan adalah sebuah pertanyaan sederhana : "Mengapa terorisme bisa tumbuh dengan subur di Bumi Pertiwi..?" Gerakan terorisme yang bersifat keagamaan atau mengatasnamakan agama tertentu telah secara kasat mata "menelanjangi" bangsa kita dilihat dari berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gerakan terorisme telah memberikan cermin yang amat baik sehubungan dengan budaya kekerasan yang saya gambarkan diatas. Cermin tersebut secara jujur telah menunjukkan kepada kita bahwa naluri sebagian kecil rakyat kita masih menganut budaya kekerasan sebagai satu-satunya jalan dalam mencapai tujuan. Ruang bagi gerakan terorisme akan selalu terbuka di sebuah bangsa yang masih menganut budaya kekerasan tersebut.
Radikalisasi Nilai-nilai Keagamaan
Gerakan terorisme yang mendasarkan perjuangannya atas nilai kebenaran absolut suatu ajaran Agama, akan tumbuh sangat subur di sebuah bangsa yang dalam sejarahnya telah memiliki nilai-nilai religiositas yang sangat mengakar kuat, seperti bangsa kita.
Nilai-nilai keagamaan mendapat tempat yang penting dalam budaya masyarakat kita, bahkan sila pertama Pancasila jelas sekali menggambarkan bangsa ini sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ke-Ilahian dalam Agama.
Gerakan terorisme telah memberikan cermin yang sangat jujur tentang sejauh mana bangsa ini menghayati nilai-nilai keagamaannya. Gerakan terorisme telah menunjukkan kepada kita bahwa sebagian kecil masyarakat bangsa ini masih gagal memahami substansi ajaran agama yang sebenarnya. Adalah juga kegagalan para pemimpin agama kita yang memiliki otoritas moral dan otoritas pengajaran mulai dari kampung-kampung, desa-desa sampai kota-kota yang melakukan khotbah dan tafsir akan ayat-ayat suci secara tidak bijaksana atau bahkan melenceng dari nilai ajaran yang sebenarnya. Tafsir dan khotbah yang seperti itu secara tidak langsung akan tertanam kuat di memori kolektif umat yang belum memilik landasan keimanan yang kuat dan rasional. Kerusuhan atas nama agama di Ambon dan Poso membuktikan hal tersebut...dan sekali lagi budaya kekerasan "dibenarkan" untuk mencapai tujuan....
Meningkatnya Gejala Individualisme
Sebagai sebuah bangsa yang lahir dari sebuah kebersamaan dari banyak perbedaan (Unity in Diversity), bangsa ini secara sadar atau tidak sadar telah lupa akan sejarah masa lalunya. Kehidupan masyarakat kita saat ini sebagian besar sudah melupakan kebersamaan tersebut. Tidak ada lagi rasa tenggang rasa, gotong royong dan budaya menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi yang selalu ditekankan sejak dahulu kala. Gerakan terorisme akan tumbuh subur di sebuah masyarakat yang individualis...tidak perduli pada lingkungan sekitar...masa bodoh dengan keadaan lingkungan...dan tidak perduli lagi dengan rasa kebersamaan untuk memperhatikan tetangga,teman,keluarga dan sahabat bahkan orang asing yang tinggal di sekitar kita. Secara sengaja kita memilih untuk tidak terlbat dalam kebersamaan tersebut dengan berbagai pertimbangan..entah sibuk mencara nafkah...entah takut dicurigai macam-macam...takut merasa direpoti....dan seribu satu macam alasan lainnya.
Kemampuan Pemerintah dalam Melindungi Rakyatnya
Gerakan terorisme adalah cermin yang sangat baik dari betapa lemahnya fungsi intelijen di negara kita. Mengapa Noordin M.Top sangat hobby melakukan terorisme di Indonesia daripada di negaranya sendiri? Saya rasa Anda semua bisa menganalisanya.....
Pepatah mengatakan seekor keledai tidak pernah jatuh dua kali ke lubang yang sama, semoga bangsa kita dengan seluruh potensi budaya yang dimilikinya...dengan seluruh sejarah yang telah dijalaninya...dapat belajar dari cermin-cermin yang jujur dari sebuah gerakan terorisme....
Terima kasih Terorisme.....
Jumat, 07 Agustus 2009
Siapakah aku..? (Sebuah Biografi Singkat)
Aku dilahirkan di Kota Hujan Bogor, 10 Oktober 1979, anak pertama dari dua bersaudara. Buah cinta dari dua pribadi yang sangat jauh berbeda dalam banyak hal. Almarhum bapak-ku adalah seorang perantauan dari bumi Flores, Adonara Barat tepatnya...seseorang yang tidak pernah mengecap pendidikan tinggi, hanya sekolah sampai kelas 5 SD, berwatak sangat "keras" seperti layaknya watak orang seberang pada umumnya. Pertama kalinya dalam hidup aku belajar tentang bagaimana menjalani hidup dengan harmonis ditengah-tengah keberagaman, aku melihat sosok bapak yang selalu ringan tangan dalam membantu orang lain tanpa memandang perbedaan asal-usul, kemampuan bersosialisasi yang sangat fleksibel..tidak kaku...dan jauh dari kesan egoisme. Ia selalu mampu membuat dirinya diterima dengan baik dimanapun ia berada, ia disegani bukan karena ia "keras" tetapi justru karena ia memegang teguh prinsip hidupnya sebagai seorang perantau. Salah satu prinsip hidupnya yang paling aku kagumi sampai detik ini adalah prinsip untuk tidak bergantung pada bantuan ataupun belas kasihan orang lain......
Sedangkan almarhum ibuku adalah seorang perempuan Sunda, berasal dari keluarga yang mapan secara ekonomi, pernah mengeyam pendidikan tinggi di sebuah sekolah tinggi di kota Bogor. Untuk pertama kalinya pula aku belajar tentang sikap hidup hemat dari ibuku, sejak kecil aku diajarkan untuk disiplin menabung. Ibuku memang hanya seorang ibu rumah tangga...tapi ia bukan ibu rumah tangga biasa...ia tidak tinggal diam dalam memenuhi kebutuhan keluarga, ia aktif bekerja membantu bapak mencukupi kebutuhan keluarga...ia mau bekerja apa saja..ia belajar membuat kue,menjualnya sedikit demi sedikit...hingga semakin luas jaringan pelanggannya. Ia sangat concern pada kualitas produk yg ia jual, ia akan menolak order pesanan jika ia yakin ia tidak mampu mengerjakannya secara maksimal. Ibuku sangat dikenal di daerah Palmerah dan sekitarnya sebagai pembuat kue yang handal.....
Masa kecilku kuhabiskan di sebuah perkampungan di Palmerah. Sejak kecil, hidupku dan adikku amatlah teratur...bukan karena kesadaran pribadi tentunya...tetapi lebih karena sebuah keterpaksaan atas "aturan main" yg sangat disiplin dari kedua orangtuaku. Waktu makan, belajar dan bermain diatur sedemikian rupa, sampai aku malu kepada teman-teman sebaya karena terkesan seperti "anak manja", bapakku tidak akan segan berlaku keras jika kami melanggar "aturan main" tersebut. Perlakuan tersebut baru sedikit berubah ketika aku mulai memasuki bangku SMA. Aku tinggal di asrama dan baru pulang sebulan sekali, di saat itulah aku merasa bahwa orangtuaku sudah mulai "merelakan" putera-puteranya hidup dan menikmati masa remaja dengan sedikit kebebasan...tidak lagi terikat "aturan main" dalam batas-batas tertentu. Memasuki bangku kuliah, kebebasan itu semakin terasa....bahkan aku sudah mulai berani merokok di depan bapak..padahal masih belum bisa cari uang sendiri.
Sejak kecil aku suka sekali membaca...waktu SD sampai SMA aku biasa menghabiskan waktu berjam-jam di ruang perpustakaan sekolah sampai tutup. Mengenai kebiasaan menulis, pertama kali di asramalah aku belajar untuk menulis...karena dipaksa "aturan main" bahwa sebelum jam tidur kami harus merefleksikan pengalaman kami pada hari itu, menuliskannya dalam sebuah buku, melakukan evaluasi dan membuat perencanaan untuk keesokan harinya berdasarkan refleksi dari pengalaman hari itu. Banyak manfaat positif yang bisa kuambil dari kebiasaan itu, hanya saja sayang...kebiasaan itu tidak berlanjut seiring lulusnya aku dari sekolah itu...
Banyak orang yg mengenang masa mudanya dengan mengatakan bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah. Justru aku merasakan bahwa masa SMA adalah masa-masa pencarian jati diri yang paling berat yang pernah aku alami. Sekolahku homogen alias siswanya laki-laki semua..tidak ada mahluk perempuan kecuali guru, suster dan ibu-ibu dapur tentunya... Yang paling berat adalah...hidup kami diatur hari demi hari dan jam demi jam harus sesuai dengan jadwal kegiatan, bayangkan...sejak bangun tidur sampai istirahat malam...hidup kami sudah diatur jadwal..Kami dipaksa untuk taat secara total dan tanpa kompromi terhadap semua jadwal kegiatan dan "aturan main" asrama, tidak ada tawar menawar.....Setiap pelanggaran atas "aturan main" tersebut akan diganjar hukuman...dan hukuman yang paling berat adalah dikeluarkan dari asrama dan juga sekolah tentunya..... Masa itu juga berat bagiku...karena aku belajar untuk "jauh" dari kenikmatan anak remaja pada umumya seperti berpacaran..berpesta...nonton film sepuasnya...makan enak sepuasnya...dan lain-lain keindahan hidup remaja pada umumya
Masa kuliah adalah masa pergolakan...karena dimasa itu aku aktif turun kejalan bersama mahasiswa yang lain....sedih dan terluka karena rekan seperjuangan harus meninggal karena kekerasan aparat....bahagia karena pertama kali jatuh cinta pada seorang perempuan...dan takut...setelah lulus nanti bertanya-tanya mau bekerja apa.....terbebani..karena tidak sedikit biaya yang dikeluarkan orang tua untuk membiayai kuliahku....tidak punya cita-cita...dan sering gagal...termasuk dalam hal percintaan he..he...
Masa bekerja adalah masa-masa normal...normal karena sudah mulai mandiri, tidak lagi terikat "aturan main", mulai berani mengambil pilihan hidup dan berani mempertanggungjawabkannya. Mulai juga mengenal dng lebih baik apa arti tanggung jawab dlm menjalin hubungan asmara dengan satu atau beberapa perempuan sekaligus....mengenal hedonisme masa muda..dan hidup foya-foya...menikmati setiap detik hasil keringat sendiri...
Itulah sekelumit gambaran sederhana tentang "Siapakah aku...?". Sebagai sebuah hasil refleksi...aku sadar bahwa setiap manusia yang mau belajar...yang punya prinsip hidup dan punya tujuan...akan selalu berkembang. Terlepas dari alasan motivasi apapun...pada akhirnya kita akan dihadapkan pada suatu titik, yaitu titik dimana kita harus memilih....memilih mau menjadi apa...memilih mau mengimani apa...memilih untuk jujur atau tidak pada diri sendiri...dan seribu satu macam pilihan lainnya. Di titik itulah...kita akan mampu "mengenal" diri kita dengan lebih baik....terutama disaat kita berani mengambil segala resiko dari pilihan-pilihan tersebut dan mempertanggungjawabkannya.......