Abstrak
Mengubah paradigma secara total
mengenai konsep kepemimpinan bahwa kemampuan untuk memimpin diri sendiri dan
orang lain pada dasarnya dimiliki oleh setiap individu dan tidak tergantung
pada satu orang besar saja merupakan filosofi dasar kepemimpinan heroik.
Kepemimpinan heroik yang ditawarkan oleh Chris Lowney yang bertumpu pada empat
pilar kepemimpinan yaitu kesadaran diri, ingenuitas, cinta dan heroisme
merupakan proses belajar yang berlangsung terus menerus bagi setiap individu di
dalam organisasi. Oleh karena itu, konsep kepemimpinan heroik merupakan sebuah
keharusan atau syarat mutlak bagi organisasi apapun agar dapat tetap hidup,
berkembang dan mencapai tujuannya. Organisasi yang tumbuh dan berkembang adalah
organisasi yang mensyaratkan proses pembelajaran secara terus menerus bagi
setiap individu dalam mengembangkan potensi kapabilitasnya. Berdasarkan
pemahaman tersebut, makalah ini akan membahas bagaimana kepeminpinan heroik melalui
empat pilarnya akan menuntun kita dalam sebuah proses belajar untuk mengubah paradigma kita selama ini mengenai
kepeminpinan, sekaligus membangkitkan
kesadaran kita untuk secara terus menerus melakukan refleksi atas peran dan
eksistensi diri kita sebagai individu di dalam organisasi.
Pendahuluan
Kepemimpinan selama ini dipahami
dalam hubungannya dengan suatu posisi atau jabatan tertentu di dalam
organisasi. Adanya pola pembagian kekuasaan serta rentang kendali dalam hirarki
kekuasaan sebagai karakter struktural organisasi, secara tanpa sadar telah
membuat kita beranggapan bahwa kepemimpinan hanyalah milik para pemimpin saja.
Davis (1951) mendefinisikan organisasi sebagai kelompok individu, yang
bekerjasama di bawah seorang pimpinan, untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Paradigma
mengenai kepeminpinan tersebut secara tanpa sadar telah membuat kita membodohi
diri sendiri bahwa sebagai individu, masing-masing dari kita, dengan segala
posisi dan tugas sebagai seorang bawahan di dalam organisasi bukanlah seorang pemimpin.
Paradigma inilah yang harus kita
ubah secara mendasar melalui sebuah paradigma baru mengenai kepemimpinan yang
ditawarkan oleh Chris Lowney yaitu Kepemimpinan Heroik. Chris Lowney (2005)
menyebutkan bahwa “setiap orang pada dasarnya adalah pemimpin yang memimpin
sepanjang hidupnya” (hal.18). Dengan menyadari bahwa konteks mengenai
kepemimpinan begitu luas dan ragam, maka penulis membatasi pembahasan hanya
mengenai kepemimpinan dalam konteks organisasi
Makalah ini bertujuan untuk mengubah paradigma kita mengenai konsep
kepemimpinan dalam konteks organisasi sekaligus sebagai bahan refleksi kita
dalam memahami diri sendiri secara utuh sebagai individu.
Mengubah
Paradigma Mengenai Kepemimpinan
Menurut Vardiansyah (2008).
“Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang orang terhadap diri
dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap
(afektif), dan bertingkah laku (konatif)” (hal.27). Berdasarkan definisi
tersebut, kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa paradigma berperan sangat
besar bahkan dominan dalam mempengaruhi cara berpikir, bersikap dan bertingkah laku
kita. Paradigma mengenai kepemimpinan bahwa kepemimpinan hanyalah otoritas para
pemimpin di dalam organisasi akan membuat kita meyakini satu hal sebagai sebuah
kebenaran yaitu bahwa kita yang tidak menjadi pemimpin, yang berada di posisi
atau jabatan bawahan dalam organisasi akan berpikir, bersikap, dan bertingkah
laku bahwa kita bukanlah pemimpin dan tidak memiliki kepemimpinan.
Ngalim Purwanto (1991).
“Kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat
kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan, untuk dijadikan sebagai sarana
dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan
tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada
kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa.” (hal.26). Memahami
kepemimpinan dalam konteks tersebut, kita bisa memahami dengan sangat sederhana
bahwa kepemimpinan berhubungan dengan kemampuan dan sifat-sifat kepribadian
seseorang. Permasalahannya adalah “Apakah kemampuan dan sifat-sifat kepribadian
tersebut hanya ditakdirkan menjadi milik segelintir orang saja ?”. Berdasarkan
pertanyaan tersebut mari kita menggali lebih dalam lagi melalui sebuah pertanyaan yang bersifat reflektif bagi kita
semua yaitu “Apakah dengan tidak menempati posisi atau jabatan sebagai seorang
pemimpin dalam organisasi kita tidak
memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain agar mereka mau
bekerja bersama dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa ?”. Pertanyaan
reflektif tersebut penting untuk diajukan agar kita mau untuk bercermin dan
jujur pada diri kita sendiri sejauh mana kita sebagai individu telah
mengembangkan segenap potensi diri kita melalui proses belajar yang terus
menerus
Dalam memahami pertanyaan
reflektif tersebut, konsep kepemimpinan heroik yang ditawarkan Chris Lowney
menjadi amat relevan bagi kita semua. Dalam konteks ini, Lowney sebagai seorang
mantan Jesuit, yang pernah mengalami masa-masa pendidikan, pembentukan karakter
di dalam sebuah lembaga Serikat Jesuit dengan bahasa yang sederhana berusaha
merumuskan Konsep Kepemimpinan Menurut Jesuit. Kepemimpinan bagi para Jesuit
bukan hanya sekedar sebuah taktik, teknik atau strategi belaka, tetapi lebih
dari itu adalah sebuah prinsip dan nilai personal seseorang sebagai pribadi
yang utuh di dalam memaknai kehidupannya. Lowney (2005) menyebutkan bahwa
Kepemimpinan Jesuit menolak model kepemimpinan perintah dan kontrol. Dengan
sangat jelas. Lowney menggambarkan konsep kepemimpinan menurut Jesuit sebagai
berikut :
1.
Kita
semua adalah pemimpin, dan kita memimpin sepanjang waktu dengan cara yang baik
atau buruk.
Dalam konteks organisasi, kita
bisa mulai memahami bahwa bahwa menjadi seorang pemimpin dan memiliki
kepemimpinan tidak dapat dibatasi oleh struktur formal organisasi. Hirarki
kekuasaan yang tergambar dalam struktur formal pembagian wewenang dalam
organisasi tidak akan pernah mampu membatasi kebebasan penuh kita dalam
memaknai diri sebagai seorang pemimpin. Baik di dalam maupun di luar
organisasi, kita semua memimpin sepanjang waktu, dalam tataran yang paling
minimal, kita memimpin diri kita sendiri, menjadi pemimpin atas diri sendiri
2.
Kepemimpinan
keluar dari dalam. Halnya tidak hanya
berkaitan dengan apa yang kulakukan, melainkan juga dengan siapa aku.
Kepemimpinan bukanlah sebuah
peran yang kita jalani, melainkan lebih dari itu, kepemimpinan adalah mengenai
siapa diri kita sesungguhnya. Pemahaman yang utuh mengenai diri sendiri adalah
fondasi yang paling mendasar untuk menjadi seorang pemimpin.
3.
Kepemimpinan
bukan suatu tindakan. Kepemimpinan ialah hidupku,
suatu cara hidup.
Kepemimpinan dimaknai sebagai
sebuah pemahaman yang lebih mendalam mengenai bagaimana kita menjalani hidup
harian kita. Nilai-nilai apa yang kita jadikan sebagai sebuah pegangan, sebuah
pandangan hidup (way of life) yang menjadi dasar bagi kita dalam menjalani
hidup harian kita.
4.
Aku
tak pernah merampungkan tugas menjadi pemimpin. Kepemimpinan merupakan sebuah
proses yang berlangsung terus-menerus.
Kepemimpinan adalah sebuah proses
pembelajaran yang tidak pernah akan selesai, karena selama kita menjalani hidup
kita, selama itu pula kepemimpinan sebagai sebuah proses akan berlangsung
secara terus menerus.
Berdasarkan
konsep kepemimpinan menurut Jesuit tersebut, kita bisa memahami secara
sederhana bahwa kita semua sebagai individu, sebagai pribadi adalah pemimpin
dan oleh karena itu, kepemimpinan bukanlah milik eksklusif orang atau individu
tertentu, melainkan milik setiap individu. Kepemimpinan adalah mengenai siapa aku, mengenai hidupku secara utuh, mengenai suatu cara hidup. Inilah prinsip dan nilai personal yang sangat mendasar
dan harus kita yakini sebagai pribadi, bahwa kita semua tanpa kecuali, apapun
tugas dan peran kita dalam organisasi, tugas dan peran yang kita jalani dalam
hidup harian kita, kita semua adalah pemimpin.
Empat Pilar Kepemimpinan Heroik
Untuk
lebih memahami kepemimpinan sebagai siapa
aku, sebagai hidupku dan sebagai suatu
cara hidup, kita harus mau belajar
untuk lebih mengenal diri kita sendiri terlebih dahulu. Proses pembelajaran
untuk mengenal diri ini memerlukan kesediaan untuk mau melakukan refleksi atas
keseluruhan hidup yang kita jalani selama ini.
Empat
Pilar kepemimpinan Heroik yang ditawarkan oleh Chris Lowney merupakan fondasi
dasar bagi kita dalam memahami kepemimpinan heroik, sekaligus bahan refleksi yang
sangat membantu bagi kita dalam mengenal lebih dalam siapa diri kita
sesungguhnya. Empat Pilar Kepemimpinan Heroik ini sendiri merupakan hasil
refleksi pribadi Chris Lowney dalam konteks kepemimpinan.
Keempat
Pilar Kepemimpinan Heroik tersebut yaitu :
1.
Kesadaran Diri.
Yaitu kemampuan dan kemauan untuk
memahami secara utuh mengenai kekuatan, kelemahan, nilai-nilai dan pandangan
hidup diri kita sendiri.
Beberapa pertanyaan reflektif
yang bisa penulis tawarkan untuk membantu kita dalam memahami pilar pertama
ini, yaitu sebagai berikut :
1.Bakat dan potensi diri apa yang aku miliki? Yang
dengan begitu mudah dapat kulakukan? Sedangkan orang lain membutuhkan proses
dan waktu yang lebih lama untuk melakukannya?
|
7. Kelemahan-kelemahan apa yang
ada dalam diriku? Dan mengapa kelemahan tersebut sulit sekali ku atasi?
|
2.Kebaikan-kebaikan apa yang ada dalam diriku?
|
8. Hal-hal apa saja dalam
hidupku yang menurutku layak untuk terus diperjuangkan?
|
3.Hal-hal apa saja yang mampu membuatku merasa
bergairah dalam menjalani hidupku? Dan mengapa?
|
9. Kejadian-kejadian apa dalam
hidupku yang membuatku merasa hidup lebih bermakna? Dan mengapa?
|
4.Kejadian-kejadian apa dalam hidupku yang sangat
tidak aku sukai dan membuatku merasa kecewa?
|
10. Kelalaian-kelalaian apa
yang sering kulakukan baik secara sadar maupun tanpa sadar?
|
5.Ketakutan-ketakutan apa yang selalu menghantui dalam
hidupku? Dan mengapa aku takut akan hal tersebut?
|
11. Nilai-nilai hidup apa yang
paling berharga dalam hidupku? Dan mengapa itu berharga untuk tetap
kupertahankan?
|
6. Apakah aku sering mengalami kegagalan dalam mencapai
apa yang ingin kucapai dalam hidupku? Dan mengapa itu terjadi?
|
12. Pandangan-pandangan hidup
apa yang paling penting bagiku? Dan mengapa itu penting bagiku?
|
Pilar pertama mengenai kesadaran
diri ini adalah pilar yang menjadi fondasi dasar untuk dipahami dan
direfleksikan secara sungguh-sungguh sebelum kita belajar memahami dan
merefleksikan ketiga pilar berikutnya. Pertanyaan-pertanyaan reflektif tersebut
di atas akan membantu kita dalam menemukan kesadaran diri mengenai siapa aku?
Mengenai hidupku dan cara hidupku. Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga
merupakan sebuah proses belajar, karena dengan menyadari dan mengetahui apa
yang menjadi kelemahan-kelemahan kita, kita akan berusaha untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan tersebut untuk menjadi lebih baik. Begitupun jika kita
mengetahui dan menyadari apa yang menjadi kelebihan-kelebihan kita, maka kita
akan berusaha untuk memaksimalkan kelebihan tersebut untuk mencapai apa yang
kita inginkan. Karena hanya mereka yang mengetahui dan menyadari siapa dirinya
secara utuh dan apa yang diinginkannya akan mampu berlari kencang untuk
mengejar keinginannya dengan penuh semangat, sekaligus menjadi inspirasi bagi
orang lain untuk melakukan hal yang sama.
2. Ingenuitas
Yaitu kemampuan untuk berinovasi
dan beradaptasi dengan penuh keyakinan terhadap dunia yang terus berubah.
Perubahan adalah sesuatu yang
tidak terelakan dalam hidup kita, sesuatu yang pasti terjadi dan tidak dapat
dihindari. Sehingga satu-satunya pilihan bagi kita adalah menghadapi perubahan
tersebut. Setelah kita merefleksikan mengenai kesadaran diri kita secara utuh
dan mulai memahami dengan lebih baik siapa diri kita, kita akan kembali
berefleksi mengenai sikap kita terhadap dunia yang terus berubah. Ingenuitas
merupakan sebuah pijakan bagi kita dalam menghadapi badai perubahan, beberapa
pertanyaan reflektif yang dapat penulis ajukan dalam konteks membentuk
ingenuitas sebagai individu yaitu sebagai berikut :
1.
Apakah
perubahan-perubahan yang terjadi baik di dalam hidupku maupun lingkungan
sekitarku adalah sesuatu yang menakutkan? Dan mengapa?
|
4.
Apakah aku mau melihat perubahan sebagai sebuah tantangan yang menarik untuk
dihadapi dan dijalani ?
|
2.
Apakah
aku merasa kenyamanan hidup yang kurasakan menjadi terganggu dengan adanya
perubahan?
|
5. Apakah aku bersedia untuk
beradaptasi dalam menghadapi perubahan demi mencapai apa yang kuinginkan?
|
3.
Apakah
aku pernah melihat dan menemukan banyak kesempatan yang dapat kumanfaatkan dalam
setiap perubahan yang kualami dalam hidupku?
|
6. Mampukah aku menerima
perubahan sebagai sesuatu yang positif bagi pengembangan potensi diriku?
Sepahit apapun perubahan itu menerpa hidupku?
|
Sikap ingenuitas adalah proses
memerdekakan diri kita dari keterkukungan kita terhadap segala kenyamanan yang
kita alami. Justru dengan sikap ingenuitas, kita akan belajar untuk tetap
merasa nyaman dalam setiap perubahan yang kita alami, karena pada akhirnya kita
memahami dengan sungguh bahwa perubahan ternyata adalah kesempatan yang luar
biasa bagi kita untuk mengembangkan segala potensi diri yang kita miliki. Sikap
ingenuitas yang dilandasi akan kesadaran diri akan memampukan kita untuk larut
dalam perubahan tetapi tidak ikut terhanyut, karena ingenuitas yang dilandasi
oleh kesadaran diri akan memampukan kita untuk memaknai perubahan berdasarkan nilai-nilai
dan prinsip serta pandangan hidup yang kita anut sebagai hasil dari proses
kesadaran diri tersebut.
3. Cinta
Yaitu kesediaan untuk terlibat dengan, dan
melibatkan orang lain dengan sikap positif yang memungkinkan perkembangan
potensi dan bakat terpendam mereka.
Lowney (2005) menggambarkan bahwa
“seseorang yang mendasarkan kehidupannya pada cinta akan terus selalu melihat
dirinya sendiri dan orang lain sebagai mahluk berharga, yang mempunyai potensi
yang senantiasa perlu diterus kembangkan.” (hal.37).
Hakikat dari cinta pada dasarnya
adalah sebuah pemberian diri, setelah merefleksikan kesadaran diri dan sikap
ingenuitas, kita akan berfleksi mengenai makna cinta sebagai sebuah pemberian
diri. Kesediaan kita untuk mau dengan rendah hati menghargai dan membantu orang
lain untuk ikut mengembangkan potensi dan bakat terpendam mereka, bukan saja
akan membuat relasi kehidupan menjadi lebih harmonis, lebih dari itu dalam
konteks organisasi akan menciptakan sebuah sinergi yang luar biasa dalam mencapai
tujuan bersama.
Beberapa pertanyaan reflektif
yang dapat penulis ajukan sehubungan dengan pilar cinta yaitu sebagai berikut :
1. Apakah aku bersedia dengan
penuh kerendahan hati untuk mau mengakui kelebihan-kelebihan yang dimiliki
oleh orang lain?
|
4. Apakah aku bersedia membantu
orang lain dengan sepenuh hati untuk mengembangkan segala potensi yang ada
pada dirinya?
|
2. Apakah aku bersedia menerima
kekurangan-kekurangan orang lain yang bekerjasama denganku?
|
5. Apakah aku bersedia untuk
memaknai kehadiran orang lain dalam hidupku sebagai sebuah kesempatan untuk
semakin mengenal diriku sendiri?
|
3. Apakah aku bersedia untuk
melakukan komunikasi yang santun dan menghormati orang lain tanpa memandang
perbedaan status?
|
6. Apakah aku bersedia dikritik
oleh orang lain dan menerima kritikan tersebut sebagai sebuah sapaan tanda
persahabatan?
|
Dengan mengembangkan sikap cinta
dalam relasi dengan orang lain, secara tidak langsung kita akan belajar
mengenai kepemimpinan yang efektif. Karena pada hakikatnya keberhasilan sebuah
kepemimpinan adalah bagaimana setiap orang yang bekerja bersama dalam mencapai
tujuan bersama dapat saling mengembangkan diri satu sama lain.
4. Heroisme
Yaitu menyemangati diri sendiri
dan orang lain dengan ambisi-ambisi dan hasrat-hasrat heroik untuk melakukan
segala sesuatu secara tuntas dan prima.
Sikap heroisme dilandasi oleh
sebuah semangat dari dalam diri kita, sebuah semangat yang memiliki daya luar
biasa besar yang akan memampukan kita bukan hanya untuk memiliki mimpi-mimpi
yang besar, tetapi lebih dari itu memampukan kita untuk melakukan hal-hal yang
besar dan luar biasa. Setelah memahami mengenai kesadaran diri, ingenuitas dan
cinta, kita akan kembali berefleksi mengenai sikap heroism sebagai pilar
terakhir dalam kepemimpinan heroik. Beberapa pertanyaan reflektif yang dapat
penulis ajukan sehubungan dengan pilar keempat ini yaitu :
1. Apakah aku memandang sebuah
tugas atau pekerjaan sebagai beban atau kesempatan?
|
5. Apakah aku terbiasa untuk
menyelesaikan sesuatu secara tuntas dan prima?
|
2. Apakah aku selalu
menggunakan target dalam melakukan sebuah tugas atau pekerjaan?
|
6. Apakah aku telah memaknai
tugas dan pekerjaan sebagai sebuah ibadah yang tidak boleh dilakukan
setengah-setengah?
|
3. Apakah aku telah puas dengan
segala yang telah aku capai dalam pekerjaan dan tugasku selama ini? Dan
mengapa?
|
7. Apakah aku tetap merasa
tenang dan biasa-biasa saja bahkan ketika tugas dan pekerjaanku belum
diselesaikan dengan baik?
|
4. Apakah aku selalu ingin
berbuat lebih dari sekedar menyelesaikan tugas dan pekerjaan dengan baik? Dan
mengapa?
|
8. Apakah aku selalu melakukan
evaluasi setiap kali sebuah tugas atau pekerjaan telah selesai kulakukan?
|
Semangat yang berdaya magis
berupa sikap heroisme jelas membutuhkan energi yang luar biasa, karena sebuah
prestasi besar hanya akan dihasilkan dari pengorbanan yang juga besar. Energi
yang berupa semangat yang berdaya magis ini hanya akan dapat tumbuh dan
berkembang dalam pribadi individu yang telah merefleksikan kesadaran dirinya,
ingenuitasnya dan cintanya sebagai kesatuan yang utuh.
Keempat
pilar kepemimpinan heroik tersebut pada hakikatnya adalah sebuah kesatuan yang
utuh terintegrasi satu sama lain, tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain.
Sebagai sebuah proses pembelajaran yang berlangsung secara terus menerus,
kepemimpinan heroik akan sangat berguna dalam membentuk pola mental individu,
khususnya dalam konteks pencapaian tujuan organisasi. Karena organisasi yang
tumbuh dan berkembang adalah organisasi dimana setiap individu yang ada di
dalamnya memiliki kesediaan dan kerelaan untuk belajar, bukan hanya mengenai
kompetensi teknis yang diperlukan, tetapi lebih dari itu belajar untuk memahami
dirinya secara utuh, belajar untuk tangguh dalam menghadapi perubahan, belajar
untuk mau dengan kerelaan hati menghargai orang lain sebagai sebuah pemberian
diri demi kebaikan bersama, dan belajar untuk selalu menyemangati diri untuk
mencapai baik tujuan pribadi maupun tujuan organisasi.
Penutup.
Dengan
mengubah paradigma mengenai kepemimpinan, maka kita akan memiliki sebuah modal yang
sangat berharga dalam hidup kita, yaitu sebuah keyakinan yang tidak
terbantahkan bahwa kita semua masing-masing, tiap individu adalah seorang
pemimpin dan memiliki kepemimpinan. Keyakinan ini hanya akan tetap hidup jika
kita secara konsisten mau dan mampu menerapkan Konsep Kepemimpinan menurut
Jesuit yaitu bahwa kepemimpinan adalah mengenai siapa aku, mengenai hidupku
secara utuh, mengenai suatu cara hidup. Kesediaan
kita untuk secara konsisten menerapkan sebuah gaya hidup baru yaitu gaya hidup
reflektif, kemampuan untuk melakukan evaluasi diri berdasarkan Keempat Pilar
Kepemimpinan Heroik mengenai semua peran, tugas dan tanggung jawab kita di
dalam organisasi maka tidak ada sesuatu apapun termasuk struktur formal dalam
organisasi yang mampu menghalangi diri kita untuk menjadi seorang pemimpin.
Daftar Pustaka
Lowney, C. (2005). Heroic Leadership: Praktik Terbaik
“Perusahaan” Berumur 450 Tahun yang Mengubah Dunia, Jakarta, PT Gramedia
Pustaka Utama.
Vardiansyah, D. (2008). Filsafat Ilmu Komunikasi:
Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta.
Purwanto,
M. Ngalim. (1991). Administrasi dan
Supervisi Pendidikan. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar