Foto Oma Pur (Ibu Rita Ariani Soesilo) bersama staff pelaksana harian Marian Centre Indonesia
Aku
mengenalnya lebih dari 4 tahun yang lalu, kehadirannya sering kali membuat
bising telingaku, kalau dia sudah mulai bicara dan terus berbicara hampir tanpa
henti…
Seperti
burung-burung kenari yang selalu berkicau, tak pernah lelah dia berkicau, tak
perduli apakah kicauannya indah atau sumbang bagi mereka yang mendengarnya…
Ibarat
sebuah cermin, dia seolah memaksaku untuk mau belajar mendengarkan, Ya!! Mendengarkan
bukan hanya dengan telingaku…tapi lebih dari itu…kicauannya seolah memaksaku
untuk mau belajar mendengar dengan ketulusan hati….
Usianya
tak lagi muda, jarak usia antara aku dengannya lebih dari 30 tahun, aku ibarat
seorang anak kecil yang bodoh, dan dia ibarat seorang ibu yang serba sok tahu
tentang segala hal dalam hidupku…tapi perbedaan usia itu tak mampu mencegah
kami untuk saling berkicau satu sama lain dengan riuhya….Ya!! Kami adalah 2
burung kenari yang tak pernah lelah berkicau…
Hampir
tak ada jarak diantara kami, kami bisa saling berdebat, saling mengkritik, dan
juga saling menguatkan satu sama lain. Aku merasa bebas saat berkicau
bersamanya, karena dia tak pernah membuat pagar penghalang bagiku, dia
membiarkan aku masuk, membuka pintu hatinya dan membiarkan aku bermain dengan
segala imajinasi dan kekonyolanku.
Usianya
tak lagi muda, tetapi dia jauh lebih muda daripadaku dalam hal semangat untuk
berkarya, dalam hal semangat untuk berdoa di kedalaman keheningan batin, dan dalam
hal semangat untuk mau mati bagi dirinya sendiri, dan memilih hidup bagi orang
lain…
Sebagai
anak kecil yang bodoh, seringkali aku gagal memahami ibu yang satu ini, hatiku
seringkali tak peka, telingaku lebih sering tuli, dan mulutku lebih sering menjadi
hakim…
Tapi
ibu yang sok tahu ini, tak pernah sekalipun lelah menyapaku, menyapa seorang
anak kecil yang bodoh, dan tetap tersenyum kepadaku walau kadang sambil
menyindirku…
Bagiku…dia
adalah sebuah doa yang hidup, aku tak pernah bisa mengerti, bagaimana di tengah
kesendirian hidupnya, di tengah segala pergumulan batinnya yang tak pernah
mudah, dia justru semakin merasa intim dengan Sang Cinta. Ya, dia memilih untuk
mencinta, dia memilih untuk menjadi abdi bagi Sang Cinta, dengan penuh
perjuangan dan dengan segenap hatinya.
Pilihannya
untuk mencinta, bisa selalu mudah kulihat dengan mata dan kepalaku, lewat
hal-hal yang sangat sederhana, hal-hal yang bahkan sangat sepele dan kecil.
Bagiku…dia
adalah guru dalam hal penyangkalan diri yang luar biasa, dia memilih menjadi
korban dan mau mengorbankan diri demi kecintaannya menjadi abdi Sang
Cinta.
Dia
memilih menjadi korban, ketika dia memilih untuk menyimpan semua perkara di
dalam hatinya…dan hanya melaksanakan apa yang harus dilakukannya sebagai
seorang abdi. Sebuah pilihan spiritualitas yang diteladankan oleh Bunda Maria
sendiri selama hidupnya.
Sehingga
tak heran bagiku, ketika Tuhan Allah berkenan untuk memanggilnya pulang pada
hari Sabtu Pertama, hari di mana dalam tradisi Gereja Katolik dikenal sebagai
Sabtu Imam, hari yang dipersembahkan khusus untuk mendoakan para imam dan
mempersembahkannya kepada Bunda Maria, karena Bunda Maria adalah Ratu Para
Imam.
Doakanlah
kami yang masih berjuang ini,
Sampai
jumpa di alam keabadian ibuku yang sok tahu, semoga ketika saat itu tiba, kita
bisa kembali berkicau bersama seperti burung-burung kenari