Kepada Yth.
Bp. Djohar Arifin Husin
Ketua Umum
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia
Di Tempat
Dengan Hormat,
Saya
hanyalah rakyat biasa di Republik ini yang kebetulan mencintai
sepakbola sebagai sebuah karya Ilahi yang luar biasa indah melalui
manusia-manusia yang diciptakan-Nya. Seperti halnya Bapak,
saya adalah juga bagian dari masyarakat sepakbola Indonesia yang tidak
pernah lelah untuk bermimpi bahwa suatu saat sepakbola Bangsa kita mampu
terbang tinggi dengan gagah di kancah internasional seperti halnya Sang
Garuda yang gagah nan perkasa.
Surat
terbuka ini saya buat didasari oleh hanya satu alasan mendasar yaitu
karena saya mencintai PSSI sebagai sebuah lembaga otoritas tertinggi
yang mengatur sepakbola di Republik ini. Saya mencintai PSSI dengan
segala kelemahan dan kelebihannya, karena sampai detik ini, saya masih
mengimani bahwa PSSI adalah alat perjuangan bangsa. Walaupun karena
perasaan cinta itu, berkali-kali pula saya harus mengalami “luka” di
hati karena banyaknya absurditas dalam pengelolaan sepakbola kita.
Sehubungan
dengan hasil Rapat Komite Eksekutif semalam, 16 September 2011 dengan
rendah hati perkenankanlah saya untuk memberikan beberapa masukan bagi
kepengurusan PSSI 2011-2015 di bawah komando bapak sebagai pengemban
amanat Kongres Luar Biasa PSSI.
“Mundur Satu Langkah, untuk Maju Seratus Langkah Kedepan”
Mencermati
perkembangan sepakbola kita sejak 9 Juli 2011 lalu sampai hari ini,
dengan jujur saya harus mengatakan bahwa Bapak belum memiliki sebuah
prinsip dasar/keteguhan sikap sebagai seorang pemimpin.
Saya
bisa memahami jika Bapak berada pada dua kutub ekstrim yang saling
bertentangan dalam kepengurusan saat ini,antara kubu pro status quo
dengan kubu pro perubahan, karena sepakbola kita memang sudah rusak oleh
“politisasi” yang sudah membudaya sejak Tahun 1970an. Hidup memang
sebuah pilihan, tetapi berani memilih dan berani mengambil resiko dari
pilihan yang diambil adalah dua hal yang sangat berbeda walaupun
berhubungan satu sama lain.
Saya
rasa kita berdua sepakat bahwa kondisi sepakbola kita sebelum 9 Juli
2011 adalah kondisi yang “sakit” dan karena itu pula untuk mengobatinya
kita harus mengambil langkah mundur untuk melakukan evaluasi menyeluruh
terhadap “penyakit-penyakit” tersebut. Adapun beberapa langkah “Mundur Satu Langkah, untuk Maju Seratus Langkah Kedepan” yang
merupakan tema besar isi surat terbuka ini meliputi beberapa hal yang
menurut saya sangat krusial dalam pengembangan sepakbola kita ke depan.
1. Politisasi Sepakbola Indonesia
Apapun
dinamika yang terjadi selama Kongres Luar Biasa PSSI 9 Juli 2011,
sejarah mencatat bahwa Bapak diberi amanat dan kepercayaan untuk
memimpin PSSI. Bapak memang tidak bisa menutup mata terhadap dukungan
kubu Pro Perubahan yang disokong oleh kekuatan Bp. Arifin Panigoro dan Bp. George Toisutta,
publikpun tahu bahwa Bapak adalah hasil kompromi terbaik dari
politisasi yang terjadi selama Kongres tersebut. Poilitisasi disini,
bukan hanya karena melibatkan kepentingan elite partai-partai tertentu,
tetapi juga karena melibatkan banyaknya kepentingan kelompok dan orang
per orang di luar partai.
Di titik inilah Bapak seharusnya mampu membuat
garis tegas antara kepentingan sepakbola nasional dengan kepentingan
kelompok tertentu, terutama mereka yang telah menyokong Bapak untuk
menjadi seorang pemenang. Saya percaya, jika pada titik ini Bapak
mengambil sikap yang tegas, maka kedepan kita mulai belajar untuk secara
bertahap menghancurkan salah satu sumber “penyakit” kita yaitu
politisasi sepakbola. Garis tegas tersebut haruslah berdasarkan
keyakinan pribadi Bapak mengenai apa yang baik dan benar bagi
pengelolaan sepakbola kita ke depan, karena Bapak adalah seorang mantan
pemain, mantan wasit dan sudah lama berkecimpung dalam dunia sepakbola
kita. Bapak adalah ketua umum yang paling ideal dilihat dari sisi latar
belakang dan pengalaman Bapak.
Bapak
harus berani mengatakan “Tidak” kepada aspirasi-aspirasi khususnya dari
kubu yang berjasa menyokong Bapak, jika menurut keyakinan pribadi
Bapak, aspirasi tersebut bertentangan dengan keyakinan pribadi bapak
sebagai seorang yang jauh berpengalaman di sepakbola. Walaupun tentu
saja sikap tegas ini akan bisa membuat Bapak dikorbankan, tetapi akan
jauh lebih bernilai jika kita dikorbankan karena kebenaran dan keteguhan
prinsip daripada bertahan dan secara sadar memilih untuk menjadi
“boneka” kepentingan tertentu.
2. Jika PSSI adalah “Agama”, maka Statuta adalah “Kitab Suci”
Saya rasa kita berdua memahami mengapa Bangsa ini mengalami krisis multidimensi hampir di semua bidang kehidupan. Salah
satunya adalah karena kita tidak pernah menghargai Hukum, Peraturan,
Norma dan Etika. Semua bisa dibeli dengan kekuasaan dan uang.
Sungguh,
saya bersyukur bahwa di dalam Komite Eksekutif masih terdapat beberapa
pribadi yang masih menjunjung tinggi Statuta PSSI, salah satunya adalah Bp. La Nyalla Matalitti.
Saya telah membaca dan mempelajari Statuta PSSI dalam versi Bahasa
Inggris yang diapproval oleh FIFA dan AFC yang saya download dari
Website PSSI.
Adalah
sebuah absurditas yang luar biasa, jika Bapak dan semua pengurus PSSI
tidak memahami substansi dari Statuta tersebut. Saya akan sangat sedih
membayangkan jika pada rapat Komite Eksekutif semalam tidak ada seorang Bp. La Nyalla Matalitti, yang mengingatkan hal yang paling fundamental dalam sebuah organisasi yaitu “aturan main” dalam hal ini Statuta PSSI.
Semoga
rapat Komite Eksekutif semalam mampu mengingatkan Bapak dan pengurus
lainnya untuk tidak menutup mata, telinga dan hati pada realita
sepakbola kita hanya demi memperjuangkan kepentingan kubu-kubu tertentu.
PSSI memiliki kesempatan besar untuk menjadi contoh dan teladan yang
baik bagi Bangsa ini dalam hal menghargai Hukum, Peraturan, Norma dan
Etika. Dan semoga Bapak dan para pengurus lainnya mau mengambil langkah
mundur ke belakang dengan berusaha memahami substansi Statuta PSSI
terlebih dahulu, melakukan evaluasi dan melakukan perencanaan matang
yang sesuai dengan Statuta tersebut.
3. Pengelolaan Kompetisi Profesional dan Amatir.
Profesionalitas
dalam sepakbola kita masih terbatas pada sebuah mimpi, karena
profesionalitas lebih dari sekedar kecakapan berbisnis atau mencari uang
belaka, tetapi lebih dari itu, profesionalitas adalah sebuah sikap
hidup. Pola pikir kompetisi kita pada dasarnya adalah amatir, kita
memang belum sungguh-sungguh professional. Untuk mengubah mindset
tersebut, diperlukan proses panjang dan bertahap disertai kesabaran yang
luar biasa dari semua pihak yang terlibat, khususny6a Bapak sebagai
seorang pemimpin.
Menurut
hemat saya, Bapak perlu mengambil langkah mundur jauh kebelakang dengan
melakukan evaluasi terhadap sejarah kompetisi kita selama ini.
Kompetisi kita harus memiliki kelamin yang jelas antara Profesional dan
Amatir seperti dulu ketika Galatama dan Perserikatan. Seluruh klub
sepakbola di Tanah Air harus berani memutuskan apakah klubnya mampu atau
tidak menjadi klub yang professional sesuai dengan persayaratan standar
AFC dan FIFA. Jika tidak mampu maka harus jujur pada diri sendiri dan
berkompetisilah di level amatir yang rohnya adalah pembinaan.
Saya
sangat mendukung keputusan PSSI untuk melakukan evaluasi ulang secara
menyeluruh terhadap klub-klub yang berminat untuk berkompetisi di level
professional. Persayaratan ketat yang dibuat oleh AFC dan FIFA adalah
standar minimal yang harus dipenuhi seluruh klub, jika standar minimal
tersebut tidak mampu dipenuhi oleh klub-klub kita, maka kita pun dalam
hal ini Bapak dan para pengurus PSSI harus jujur pada diri sendiri dan
tidak perlu memaksakan diri hanya demi kuota ke Liga Champions Asia, toh
selama ini klub-klub juara kita di ajang tersebut hanya menjadi lumbung
gol saja. Kita harus memulai lagi dari pondasi yang benar sebagai dasar
melakukan perubahan yang radikal. Selama 3 tahun kedepan, jika kita
membangun iklim kompetisi yang sungguh professional, maka ketika hukuman
AFC berakhir, kita pasti akan mulai mampu berbicara di level klub
internasional tersebut.
Proses
verifikasi klub harus dilakukan atas dasar transparansi yang bisa
dipertanggungjawabkan oleh PSSI agar public sepakbola kita juga bisa
belajar untuk memahami sebuah proses dan belajar untuk jujur pada diri
sendiri. Saya juga mendukung rencana PSSI untuk melakukan salary cap di
kompetisi professional, karena adalah sebuah absurditas yang luar biasa
ketika segelintir pemain sepakbola hidup dengan gaji ratusan juta sampai
miliaran rupiah padahal sekalipun belum pernah mereka mampu membawa
Bangsa ini ke Piala Dunia. Tanpa pembatasan Salary Cap, maka PSSI akan
mengulangi kesalahan besar seperti yang dilakukan Pemerintah saat ini,
yaitu membiarkan “virus-virus” ekonomi pasar bebas merusak tatanan
ekonomi kita yang sejatinya adalah Ekonomi Kerakyatan sesuai dengan Sila
ke 5 Pancasila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
4. Pembinaan Usia Dini
Bapak
juga harus mau mundur jauh kebelakang dengan melakukan evaluasi
terhadap standarisasi pembinaan sepakbola usia dini yang sudah berjalan
selama ini. Kita belum memiliki sebuah kurikulum baku mengenai
sekolah-sekolah sepakbola di seluruh Indonesia. Mentalitas seorang
juara hanya bisa dibentuk sejak masih berusia dini, begitu juga dengan
penghargaan terhadap nilai-nilai kerja keras, disiplin diri dan fair
play. Jika sejak usia dini kita sudah gagal membentuk karakter-karakter
seperti itu, maka jangan pernah berharap kita mampu terbang tinggi di
level internasional.
Pengelolaan
kompetisi usia dini juga harus terstandarisasi di setiap level umur,
disini kembali peran ketaatan terhadap Peraturan, Hukum, Norma dan Etika
harus menjadi pijakan dasar semua komponen yang terlibat. Saya sering
“menangis di dalam hati” ketika melihat dengan mata kepala sendiri
anak-anak kita di seluruh pelosok daerah bermain bola dengan teknik yang
walaupun masih mentah sudah menunjukkan skill yang luar biasa, mereka
bermain dengan bahagia, mereka bermain dengan hati dan tertawa bersama
walaupun hanya di pinggir-pinggir jalan dan gang-gang di kampung.
Sementara
ini, sekian dulu surat dari saya kepada Yang Terhormat Bapak Ketua Umum
PSSI Djohar Arifin Husin. Jika ada kata-kata yang tidak atau kurang
berkenan mohon dimaafkan.
Semoga
Tuhan Yang Maha Kuasa selalu menyertai Bapak dan segenap pengurus PSSI
dalam menjalankan amanah mengangkat kembali derajat sepakbola kita.
Salam,
Damianus Gading